Oleh: Enok Ghosiyah M.Ag

Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tahun 1945, merupakan tonggak sejarah monumental dalam perjuangan bangsa ini untuk membebaskan diri dari penjajahan. Namun, meskipun kemerdekaan telah diraih, perjuangan untuk mencapai kebebasan sejati masih terus berlanjut, terutama bagi perempuan yang hingga kini masih terbelenggu oleh kekerasan berbasis gender (KBG).

KBG tidak hanya mencakup kekerasan fisik atau psikologis, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak fundamental perempuan untuk hidup dengan aman, bermartabat, dan setara. Dalam pandangan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), hal ini disebut sebagai “Keadilan Hakiki” (Nur Rofiah, 2021). Perempuan merdeka tidak hanya menerapkan konsep adil dan setara dari sudut pandang umum (legal formal), tetapi juga harus melibatkan pengalaman perempuan (keadilan hakiki).

Konsep keadilan hakiki ini diaplikasikan dengan memperhatikan sudut pandang perempuan itu sendiri. Merdeka bagi perempuan berarti memiliki hak dan kewajiban yang berjalan seimbang, setara, dan adil, di mana konsep ma’ruf (Fayumi, 2020), atau kebaikan yang disepakati, menjadi dasar dalam memperlakukan perempuan sebagai manusia merdeka. Perempuan tidak boleh diintimidasi atau didiskriminasi hanya karena status biologisnya sebagai perempuan.

Kemerdekaan sejati bagi perempuan terwujud ketika ma’ruf dan keadilan hakiki tidak sebatas konsep, tetapi bergerak sebagai aplikasi nyata dalam kehidupan, dengan menyertakan paradigma mubadalah atau kesalingan (Fakih, 2019). Mubadalah adalah cara pandang dalam penafsiran teks agama dan cara praktis dalam tata perilaku manusia yang tidak hanya menekankan kaum perempuan untuk memperjuangkan hak dan keadilannya, tetapi juga mengarahkan laki-laki untuk melakukan hal yang sama. Dalam pengertian sederhana, mubadalah berarti saling melengkapi, menguatkan, dan membantu dalam mencapai lingkungan yang harmonis, aman, serta mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender.

KBG merujuk pada segala bentuk kekerasan yang dialami seseorang akibat identitas gendernya. Bentuk-bentuk KBG sangat beragam, termasuk kekerasan fisik, seksual, emosional, hingga kekerasan ekonomi. Prevalensi KBG masih sangat tinggi, terlihat dari meningkatnya jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga serta terbatasnya akses perempuan terhadap bantuan. KBG tidak hanya merusak fisik dan psikologis korban, tetapi juga merampas kemerdekaan perempuan dalam mengatur dan menjalani hidup mereka.

Korban KBG sering kali terperangkap dalam siklus kekerasan yang sulit dihentikan, kehilangan rasa aman, harga diri, dan kontrol atas kehidupan mereka. Hal ini jelas bertentangan dengan esensi kemerdekaan yang seharusnya menjamin hak setiap individu untuk hidup bebas dan bermartabat tanpa diskriminasi atau penindasan. Alquran dalam Surah Al-Hujurat ayat 13 menegaskan kesetaraan tanpa memandang status gender. Perbedaan jenis kelamin dimaksudkan sebagai sarana untuk saling mengenal, memahami, membantu, dan bekerja sama dalam mencapai derajat takwa sebagai pembeda kualitas kemanusiaan. Pendekatan mubadalah yang merujuk pada ayat ini menjadi solusi dalam mencegah KBG.

Prinsip kesalingan antara laki-laki dan perempuan dapat diarahkan pada aspek fundamental dalam cara pandang, sikap, dan kebijakan. Dengan mubadalah, seseorang akan memahami bahwa perempuan tidak diciptakan berbeda dengan laki-laki, kecuali fungsi biologisnya. Isu kekerasan berbasis gender sering kali bermula dari pemahaman yang kurang terhadap penciptaan perempuan sebagai manusia. Jika perempuan dan laki-laki adalah makhluk yang sama yang harus dijaga harkat dan martabatnya, maka tidak akan ada kekerasan atas nama gender. Alquran Surah Ar-Rum ayat 21 menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki berasal dari satu jiwa dengan tujuan melahirkan peradaban manusia yang berkualitas, atau untuk mencapai derajat takwa.

Cara pandang dan penerapan konsep keadilan gender perspektif mubadalah ditempuh melalui pola pikir dan tindakan ma’ruf, sehingga keadilan dan kesetaraan gender tercipta sejak dalam pikiran. Begitulah cara kerja keadilan hakiki, yang kemudian terefleksikan dalam tindakan nyata yang menghargai perempuan sebagaimana laki-laki dengan potensi dan kualitas yang setara. Konsep mubadalah tidak hanya memposisikan perempuan dan laki-laki sebagai subjek yang setara dalam menciptakan rasa keadilan dan kesetaraan, tetapi juga memastikan bahwa keduanya merasakan manfaat dari keadilan yang tercipta.

Merevitalisasi kemerdekaan perempuan memerlukan langkah-langkah konkret yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Pendekatan mubadalah menawarkan strategi holistik untuk mengatasi KBG dan membangun masyarakat yang lebih adil dan setara. Beberapa langkah yang dapat diimplementasikan antara lain pengembangan program pelatihan dan kampanye kesadaran gender secara berkelanjutan, peningkatan partisipasi laki-laki dalam kampanye anti kekerasan, serta peningkatan akses ke layanan bantuan bagi korban KBG dengan melibatkan pemerintah, komunitas, dan organisasi masyarakat. Dengan demikian, korban KBG dapat memperoleh akses yang mudah dan cepat ke layanan hukum, medis, dan psikologis, serta perlindungan dari ancaman lebih lanjut.

Sebagai kesimpulan, perempuan merdeka adalah perempuan yang hidup dalam kondisi di mana ma’ruf, keadilan hakiki, dan cara pandang mubadalah diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Perilaku yang mengarah pada kekerasan, khususnya terhadap perempuan, dimulai dari cara pandang yang salah, yakni menganggap perempuan sebagai makhluk kelas dua dan pola pikir yang hanya memastikan keadilan dan kesetaraan gender tanpa melibatkan pengalaman perempuan serta paradigma yang termakan oleh doktrin agama, budaya, dan tradisi yang mengunggulkan satu daripada lainnya.

Dengan menerapkan konsep ma’ruf, keadilan hakiki, dan mubadalah, baik sebagai sudut pandang dalam penafsiran teks agama maupun sebagai aplikasi pengamalan ajaran agama dan tradisi, maka perempuan akan merasakan kemerdekaannya. Momen peringatan kemerdekaan Indonesia harus menjadi kebangkitan perempuan untuk mencapai kemerdekaannya, yaitu merdeka dari segala bentuk kekerasan, penindasan, intimidasi, dan semua perilaku ketidakadilan.

 

Referensi

  1. Fakih, M. (2019). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  2. Fayumi, B. (2020). Konsep Ma’ruf dan Keadilan Hakiki dalam Gender. Jurnal Studi Islam dan Gender, 8(1), 45-67.
  3. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (2021). Laporan Tahunan: Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
  4. Komnas Perempuan. (2023). Catatan Tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Komnas Perempuan.
  5. Mubarok, M. (2020). Mubadalah: Konsep Kesetaraan Gender dalam Islam. Jurnal Studi Islam dan Gender, 8(1), 34-56.
  6. Qadir, F. A. (2019). Mubadalah: Prinsip Kesalingan dalam Membangun Keadilan Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  7. Rofiah, N. (2021). Keadilan Hakiki dalam Perspektif Islam dan Gender. Jakarta: Gramedia

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here