Oleh: Abdillah
Akhir-akhir ini, kita dibuat resah dan sekaligus prihatin dengan banyak pemberitaan tentang kekerasan seksual dan pembunuhan secara keji terhadap perempuan. Seakan tidak berhenti, berbagai kasus kekerasan seksual terus berulang di berbagai tempat dengan beragam motif. Yang terbaru di bulan September ini ada 3 kasus pemerkosaan dan pembunuhan dengan cara keji terhadap perempuan.
Kasus pertama menimpa seorang perempuan berusia 13 tahun asal Palembang yang diperkosa dan dibunuh oleh 4 anak laki-laki. Kasus kedua menimpa seorang perempuan penjual gorengan berusia 18 tahun yang diperkosan dan dibunuh di Padang Pariaman, Sumatera Barat. Selanjutnya kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang berujung kematian menimpa seorang istri di daerah Ciwastra, Bandung. Yang paling mengejutkan, semua pelaku adalah orang terdekat yang sudah mengenal korban. Ada teman, tetangga, dan bahkan suami.
Berbagai peristiwa mengerikan ini harus menjadi perhatian bersama. Kita harus mewaspadai fenomena kasus-kasus di atas, yang disebut femisida. Femisida, menurut Komnas Perempuan, merupakan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung disebabkan jenis kelamin dan akibat dari eskalasi kekerasan berbasis gender yang didorong oleh superioritas, hegemoni, dominasi, agresi maupun misogini terhadap perempuan sera rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik terhadap perempuan. Yang paling mencengangkan, kasus femisida di Indonesia terus mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya, mengerikan bukan? Maka wajar jika kita mengatakan bahwa Indonesia darurat kekerasan berbasis gender.
Femisida, atau pembunuhan perempuan karena gender mereka, merupakan salah satu manifestasi paling ekstrem dari kekerasan berbasis gender. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan tindakan kekerasan individual, tetapi juga mencerminkan struktur sosial dan budaya yang mendiskriminasi perempuan. Kekerasan berbasis gender mencakup berbagai bentuk agresi, baik fisik, emosional, maupun seksual, yang sering kali dipicu oleh norma dan stereotip gender yang merugikan.
Diantara penyebab femisida adalah norma sosial yang patriarkal. Dalam banyak budaya, ada anggapan bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Laki-laki selalu dianggap lebih superior daripada perempuan. Perempuan juga selalu digambarkan sebagai objek seksual dan pelampiasan nafsu birahi. Sistem yang patriarkal secara turun temurun membentuk perilaku, otoritas dan status laki-laki dan perempuan di Masyarakat. Laki-laki sebagai kepala keluarga memiliki otoritas dan kontrol penuh terhadap perempuan. Hal demikian menciptakan lingkungan di mana kekerasan terhadap perempuan dianggap normal dan wajar.
Kemudian, fenomena femisida juga sering terjadi dalam konteks hubungan yang tidak sehat. Ketika kontrol dan dominasi menjadi hal yang umum, perempuan rentan menjadi korban kekerasan. Anggapan umum yang didasari oleh pemahaman terhadap teks agama tentang istri solehah, ketaatan dan pelayanan total perempuan kepada suami, dan kebolehan memukul istri yang dianggap durhaka terhadap suami telah menjadi penyebab dan sekaligus pembenaran untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Selanjutnya, ada stigma sosial yang membuat perempuan semakin tersudutkan. Perempuan yang melaporkan kekerasan seksual dan perkosaan misalnya, sering kali menghadapi stigma dan pengucilan. Akibatnya, mereka tidak berani berbicara dan enggan untuk mencari bantuan.
Femisida adalah masalah struktural dalam masyarakat yang perlu diatasi secara komprehensif. Pemerintah, tokoh agama, masyarakat dan organisasi non-pemerintah harus berkolaborasi untuk memperjuangkan dan mengupayakan kehidupan yang aman dan nyaman bagi perempuan.
Perempuan diperlakukan secara tidak adil dan semena-mena karena selalu dianggap lemah. Oleh sebab itu, kita perlu membangun sistem sosial yang adil gender. Dalam perspektif keadilan hakiki, perempuan memiliki pengalaman biologis dan sosial yang perlu diperhatikan. Pengalaman biologis seperti menstruasi, hamil, menyusui, melahirkan, dan nifas harus difasilitasi.
Pun demikian dengan pengalaman sosial yang terdiri dari stigmatisasi (dipandang buruk/negatif), subordinasi (dianggap inferior), marginalisasi (tersingkir dari akses akses penting dalam kehidupan), kekerasan, dan beban ganda (domestik dan publik) harus dicegah dan bahkan dihilangkan. Konsep Keadilan hakiki yang mempertimbangkan dua pengalaman khas perempuan itu adalah untuk sampai pada kemaslahatan tertinggi bagi perempuan. Kemaslahatan tertinggi dicapai jika laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai subjek penuh.
Disamping itu, juga perlu adanya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan dan dukungan bagi korban, seperti layanan psikologis dan perlindungan hukum. Selain itu, kampanye untuk mengubah stigma sosial terhadap korban harus diperkuat agar mereka merasa aman untuk melapor, dan pelaku mendapatkan hukuman serta sanksi sosial kuat.
Sumber:
– https://www.bbc.com/indonesia/articles/czxlxx41z04o
– https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-hari-peringatan-anti-kekerasan-terhadap-perempuan-25-november-2022
– https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-fenomena-femisida