Foto: Dok.Net

 

Oleh: Badriyah Fayumi*

Dalam khazanah hadis dan sirah nabawiyah, jihad perempuan mencakup banyak hal di berbagai bidang kehidupan. Salah besar pemikiran yang menganggap bahwa jihad itu harus angkat senjata, apalagi bom bunuh diri. Tulisan ini akan menjelaskan tentang beragamnya bentuk jihad sahabiyat (sahabat perempuan Nabi) dan hadis-hadis Nabi tentang jihad perempuan.

Sahabiyat di masa Nabi Muhammad saw berjihad di berbagai bidang dengan beragam bentuk dan cara. Secara umum bentuk jihad perempuan di masa Nabi dapat dibagi menjadi jihad non-qital (bukan peperangan) dan jihad qital (peperangan). Beberapa hadis dan peristiwa berikut menjelaskan keduanya.

 

Jihad non-qital
Jihad non-qital atau jihad tanpa peperangan memiliki beragam bentuknya, dan inilah yang justru lebih banyak. Ada beberapa hadis yang menyatakan secara eksplisit mengenai jihad non-qital ini. Sebagian hadis konteksnya untuk laki-laki dan perempuan, dan sebagian khusus untuk perempuan.

Pertama, jihad yang ditujukan kepada laki-laki dan perempuan. Jihad ini memiliki banyak ragam jihad tanpa perang yang diajarkan Rasulullah. Jihad ini untuk kemanusiaan, keadilan, serta peradaban dan berlaku bagi semua muslim laki-laki dan perempuan. Wilayahnya bisa keluarga, publik, termasuk politik.

Salah satu bentuk jihad non-qital adalah berbakti kepada orang tua. Bahkan demi berbakti kepada orang tua Rasulullah menolak permintaan jihad qital seorang pemuda yang meminta izin kepada Rasulullah saw.

أحي والداك ؟ قال نعم. قال ارجع ففيهما فجاهد ..

Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Laki-laki itu menjawab “Ya.” Nabi bersabda, “Pulanglah. Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya” (HR Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr bin Al Ash).

Berdasarkan hadis ini jelas bahwa berbakti kepada orang tua adalah jihadnya seorang anak. Ini berlaku bagi anak laki-laki dan perempuan. Bahkan laki-laki yang menjadi sasaran kewajiban jihad dalam bentuk qital pun harus memilih jihad berbakti kepada orang tua daripada berperang apabila orang tua sedang membutuhkan.

Bentuk lain dari jihad non-qital adalah membantu para perempuan kepala keluarga, tidak bersuami, dan menanggung beban penghidupan anak-anaknya.

الساعى على الارملة والمسكين كالمجاهد فى سبيل الله.

“Orang yang melangkah membantu para janda (perempuan single yang menjadi kepala keluarga) dan orang miskin seperti orang yang berjihad (berperang) di jalan Allah” (HR Bukhari dan Muslim dari abu Hurairah Ra)

“As-sa’i” yang dimaksud dalam hadis ini, meskipun redaksinya berbentuk mudzakkar (laki-laki) berlaku juga untuk perempuan karena keumuman hadis. Siapapun yang peduli pada nasib para perempuan kepala keluarga yang harus berjuang menghidupi keluarganya dan kaum miskin, dia adalah mujahid atau mujahidah yang dianggap sama posisinya dengan mereka yang berjihad fi sabilillah di medan laga.

Dalam momen perang Badar ada kisah jihad humanis dan romantis yang ditunjukkan oleh Sayyidina Utsman bin Affan ra yang diapresiasi Rasulullah saw. Sayyidina Utsman tidak ikut ke medan perang karena merawat istrinya, Ruqayyah ra (putri Rasulullah saw) yang sedang sakit berat hingga akhirnya wafat. Jihad Sayyidina Utsman ini adalah jihad kemanusiaan di dalam rumah, yakni merawat istri yang sakit agar sembuh dan bertahan hidup. Demi jihad menjaga kehidupan manusia ini, jihad peperangan bisa ditinggalkan. Dalam Sirah Ibnu Hisyam dikatakan bahwa Utsman bertanya apakah dirinya mendapat pahala perang Badar? Rasulullah menjawab, ”Ya, bagimu pahala Perang Badar.”
Dalam hadis yang lain juga disebutkan bahwa menuntut ilmu itu jihad. Rasulullah saw bersabda:

من خرج فى طلب العلم كان فى سبيل الله حتى يرجع

“Barangsiapa yang keluar menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai kembali. Sahabat Abu Darda’ ra berkata bahwa jika ada orang yang berkata bahwa mencari ilmu itu bukan jihad, maka ia adalah orang yang kurang akal–nya.” (HR Turmudzi dari Anas bin Malik ra)

Hadis Nabi dan pendapat sahabat Abu Darda’ ini sejalan dengan pesan Alquran dalam surat at Taubah ayat 122. Bahwa saat terjadi perang, hendaknya tidak semua orang beriman ikut. Tetapi ada sebagian dari mereka yang mendalami ilmu agama (tafaqquh fiddin) agar nanti bisa menjadi pemberi peringatan bagi kaumnya saat kembali.

Di era Madinah, untuk bisa menuntut ilmu setara dengan laki-laki, sahabiyat berjuang untuk memiliki waktu khusus belajar kepada Nabi. Asma’ binti Yazid Al Anshariyyah sebagai juru bicara sahabiyat mengajukan permohonan ini dan langsung diiyakan oleh Nabi. Ummul Mukminin Aisyah ra memuji para sahabiyat Anshor yang tidak terhalang rasa malu dalam menuntut ilmu.

Pada saat yang sama Nabi Muhammad saw juga memberi pengakuan keulamaan dan apresiasi kepada Aisyah ra karena kecerdasannya. Nabi bersabda, “Ambillah setengah (ilmu) agamamu dari perempuan yang berpipi kemerah-merahan (Aisyah) ini.” Upaya para sahabiyat untuk tafaqquh fiddin ini adalah jihad. Mereka banyak meriwayatkan hadis, terutama yang terkait dengan perempuan, keluarga, dan relasi suami istri.
Para sahabiyat juga berjuang untuk bisa beribadah di masjid sebagaimana laki-laki. Beberapa sahabat laki-laki melarang istri mereka ke masjid. Menyikapi larangan itu, Rasulullah saw justru berbalik melarang para suami agar tidak melarang para istri datang ke masjid, karena perempuan adalah hamba Allah yang sama-sama berhak datang ke masjidnya Allah. Perjuangan ini tentu saja layak disebut jihad perempuan untuk mendapatkan kesetaraan hak beribadah di area publik. Demi mewujudkan keadilan dan kemaslahatan, Rasulullah saw bersabda:

افضل الجهاد كلمة حق عند امام جاىر

“Menyatakan bahwa jihad yang utama adalah mengatakan yang hak di hadapan pemimpin yang zalim”

Para ulama menjelaskan bahwa mengatakan yang hak ini harus dengan cara yang baik agar mendapatkan hasil yang baik. Sebagaimana Nabi Musa dan Harun berkata sopan dan lemah lembut kepada Fir’aun, saat mengajak dan menasihati agar tidak terus melakukan kezaliman kepada rakyat dan Bani Israil (QS Thaha ayat 43 dan 44).

Dari hadis tersebut jelas bahwa memberikan saran, kritikan, teguran, dan nahi munkar kepada pemimpin yang zalim dengan cara yang baik sesuai aturan adalah jihad juga. Perempuan, sama dengan laki-laki bisa melakukan jihad ini baik sebagai masyarakat sipil maupun sebagai aparatur atau pejabat negara. Di negara demokrasi seperti Indonesia jihad politik secara konstitusional sangat bisa dan legal dilakukan.

Kedua, jihad non-qital yang ditujukan kepada perempuan. Jihad ini banyak dibahas dalam hadis di era Madinah. Saat itu umat Islam sudah mengalami beberapa kali peperangan. Sahabiyat yang diwakili oleh Aisyah ra mempertanyakan apakah ada kewajiban jihad bagi perempuan? Dengan tegas Rasulullah saw menjawab “Ya” Ada kewajiban jihad bagi perempuan yang tidak ada perang di dalamnya, yakni haji dan umroh. Hadis sahih riwayat Ahmad dan Ibnu Majah dari Aisyah ra ini ada di bab haji. Hadis ini mengandung makna tiga hal, yakni (1) ada kewajiban jihad bagi perempuan; (2) jihad yang wajib bukan perang; (3) haji dan umroh adalah jihad bagi perempuan.

Sangat bisa dimaklumi jika haji dan umrah adalah jihad bagi perempuan. Sebab, haji dan umrah memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang besar dari perempuan. Di zaman Nabi, berhaji dan berumrah dari Madinah ke Makkah adalah perjalanan penuh pengorbanan dan berisiko tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya transportasi seperti sekarang, tidak ada jaminan keamanan di perjalanan, dan masih dipenuhi oleh orang-orang kuat yang memusuhi umat Islam di Makkah. Dalam situasi demikian perempuan harus berpisah lama dengan anak-anaknya, harus menyiapkan bekal perjalanan, dan meninggalkan bekal untuk yang ditinggalkan. Semua itu adalah perjuangan yang tidak ringan demi menjalankan kewajiban agama.

Di Indonesia sendiri pada zaman kolonial Belanda berhaji juga membutuhkan perjuangan dan pengorbanan luar biasa. Perjalanan kapal laut berbulan-bulan. Sebelum dan setelah kedatangan dikarantina tiga bulan di Kepulauan Seribu. Setelah kembali dari tanah suci para haji diawasi ketat pemerintah kolonial. Selama di tanah suci, keluarganya harus ditinggalkan dalam keadaan tercukupi. Di zaman itu sangat sedikit muslimah Indonesia yang bisa pergi haji. Wajar jika Rasulullah saw sampaikan bahwa haji dan umrah bagi perempuan adalah jihad.

Perempuan juga berjihad saat melahirkan, ia bertaruh nyawa. Oleh karena itu jika wafat karena melahirkan, perempuan dihukumi mati syahid akhirat. Pengorbanan dan kematian seorang ibu yang melahirkan adalah jihad, karena ia bertaruh nyawa demi kelangsungan hi
dup umat manusia. Dalam hadis yang cukup panjang dan masyhur hal ini dijelaskan.
Jihadnya perempuan dalam bentuk non perang sangat banyak. Ada yang bisa dilakukan oleh perempuan dan laki-laki seperti berbakti kepada orang tua, mengurus dan merawat keluarga, menolong sesama yang dhuafa atau mustadh’afin, menuntut ilmu, berjuang untuk meraih kesetaraan sebagai hamba Allah, mengkritisi penguasa yang zalim, dan berkolaborasi dengan laki-laki untuk kelangsungan perjuangan Islam. Ada pula yang secara khusus menjadi area jihad perempuan, yakni haji dan umroh serta melahirkan.
Ini berarti bahwa area jihad non-qital itu terbuka luas bagi perempuan, di ranah domestik maupun publik, bisa dilakukan bersama laki-laki atau hanya bisa dilakukan oleh perempuan karena kodratnya. Berikut beberapa jihad non-qital yang dilakukan oleh beberapa sahabiyat.

Lanjutkan membaca

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here