Jihad Khadijah, Asma’ binti Abu Bakar, dan Sumayyah
Sirah Nabawiyah juga mencatat jihad non-qital heroik yang dilakukan oleh Khadijah binti Khuwailid dan Asma binti Abu Bakar ra di era Makkah. Periode Makkah adalah masa jihad non-qital karena Islam dan umat Islam masih minoritas, dimusuhi kaum Quraisy dan selalu ingin dihabisi.

Apa yang dilakukan Khadijah ra sepanjang hayatnya bersama Nabi adalah jihad yang luar biasa. Khadijah berjuang di samping Nabi dengan kecerdasan, kemuliaan, cinta kasih, harta dan jiwanya. Khadijah adalah orang pertama yang beriman kepada Nabi dan meyakinkan kenabiannya saat Nabi sendiri masih ragu. Khadijah juga menjadi pendukung finansial utama perjuangan Islam di masa awal yang penuh tekanan, hinaan, fitnah, bahkan upaya pembunuhan terhadap Nabi.

Saat umat Islam diboikot ekonomi dan sosial selama hampir empat tahun, Khadijah menyedekahkan hartanya tanpa hitungan untuk para sahabat. Di dalam rumah tangga, Khadijah adalah oase penyejuk jiwa suami dan ibu yang penuh kasih sayang. Sejarah Islam awal berhutang budi pada jihad jiwa, raga, dan harta Khadijah. Tak heran Rasulullah saw merasa sangat bersedih saat Khadijah wafat dan tidak pernah bisa melupakan jasa Khadijah sekalipun beliau sudah tiada.

Jihad yang cerdas dan berisiko juga ditunjukkan oleh Asma’ binti Abu Bakar. Saat Rasulullah saw hijrah ke Madinah bersama ayahnya, Asma’ memanggul risiko dengan bolak balik ke Gua Tsur, tempat persinggahan Nabi sebelum ke Madinah untuk mengantarkan makanan, melaporkan perkembangan Makkah, dan memantau keamanan. Keberanian Asma dan spontanitasnya membelah ikat pinggangnya menjadi dua. Sebelah dipakai dan yang sebelah lagi dijadikan pengikat makanan di kendaraannya, membuatnya memiliki julukan Dzatun Nitaqayn (perempuan yang memiliki dua ikat pinggang).

Jihad perempuan di era Makkah juga ditunjukkan oleh Sumayyah ibunda Ammar bin Yasir. Perempuan kuat iman ini rela mati disiksa tuannya, Abu Jahal dengan kejam karena bersiteguh pada Islam. Beberapa kisah heroik sahabiyat era Makkah ini adalah contoh jihad non-qital perempuan untuk mempertahankan Islam yang saat itu terus ditekan dan diperangi untuk dihabisi.


Jihad Qital

Pada prinsipnya Islam tidak mewajibkan perempuan menjadi serdadu perang. Sebab, jika perempuan wajib turun ke medan perang, akan terjadi ketidakseimbangan sosial. Keluarga dan anak-anak bisa terlantar. Meski demikian Rasulullah saw tidak pernah melarang bahkan memberikan apresiasi kepada sahabat perempuan yang mendedikasikan diri untuk agama dengan terjun langsung ke medan perang. Mereka dinyatakan oleh Nabi sebagai ahli surga.

Peran sahabiyat di medan perang ada yang berdiri di garis depan dan ada yang berperan di balik layar. Di antara nama yang sangat menonjol berjuang di garis depan adalah
Nusaibah binti Ka’ab atau Ummu Imarah Al-Anshariyyah. Di perang Uhud, sahabiyat ini gagah berani menunjukkan kemahirannya menggunakan pedang dan panah untuk melindungi Nabi dari serangan musuh hingga mengalami 12 luka di tubuhnya. Di tengah-
tengah perang itu beliau memohon agar bisa menemani Nabi di surga. Nabi pun mendoakan seperti yang diminta. Nusaibah berumur panjang dan ikut dalam perang-perang berikutnya.

Selain Nusaibah, sahabiyat yang berjihad di medan perang antara lain Shafiyah binti
Abdul Muthalib, Ummu Sulaim, ar-Rabi’ binti Al Mu’awwidz, Ummu Haram, Ummu Sulaith, Rufaidah al-Anshariyyah, Laila Al-Ghifariyah, Khaulah binti Azur, Juwairiyah binti Abu Sufyan, Ghazalah al-Haruriyah, dan lain-lain.

Istri Nabi, Aisyah binti Abu Bakar ra memimpin pasukan dalam Perang Jamal. Ibn Sa’ad dalam Ath Thabaqat al-Kubra mencatat ada 15 sahabiyat yang syahidah di perang Khaibar. Sahabiyat pada umumnya berperan sebagai penyedia makanan dan perawat yang mengobati prajurit yang terluka. Jika keadaan memanggil, mereka juga maju ke garda depan sebagaimana yang dilakukan Ummu Imarah.
Kisah heroik para sahabiyat ini sungguh mengagumkan. Meski demikian kisah ini tidak bisa dijadikan legitimasi perempuan Indonesia saat ini yang angkat senjata melawan pemerintah yang sah atau melakukan aksi terorisme dengan bunuh diri. Konteks dan kondisi sosial politik di zaman Nabi dan saat ini di Indonesia sangat berbeda. Melakukan pemberontakan kepada pemerintah yang sah (bughat) atau bom bunuh diri (tindakan menjatuhkan diri sendiri dalam kebinasaan/ ihlak an-nafs). Keduanya adalah haram, bukan jihad, bukan pula istisyhad (upaya mendapatkan kesyahidan).

 

*Penulis Adalah Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina
Bekasi, Jawa Barat & Ketua MM KUPI

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here