Oleh: Nur Achmad, MA. *)

Allah swt. menciptakan kehidupan ini dengan keseimbangan dan serba berpasangan. Semua ciptaan-Nya diberikan tugas, kewajiban, dan hak sesuai dengan kapasitasnya. Manusia, hewan, tetumbuhan, dan juga bumi serta langit diberikan tugas dan peran sesuai dengan ukuran (qadar) masing-masing. (Innaa kulla syai’in kholaqnaahu bi qodarin, Sesungguhnya Kami ciptakan segala sesuatu dengan suatu ukuran) (QS. al-Qomar, 54: 49). Bahkan air hujan pun diturunkan oleh Allah dengan suatu qadar (ukuran) yang ditetapkan oleh-Nya, tidak lebih dan tidak kurang. (QS. Al-Mu’minun: 18, al-Zukhruf: 11, dan al-Hijr: 21)

Dalam penciptaan langit dan bumi seisinya, Allah ciptakan pula keseimbangan dan keteraturan. Keseimbangan sebagai hukum sunnatullah yang tidak berubah dan tidak boleh dilanggar. Allah menegaskan: Was-samaa’a rafa’ahaa wa wadha’al-miizaan. Allaa tathghau fil-miizaan. Wa aqiimul-wazna bil-qisthi wa laa tukhsirul-miizaan (Dan langit itu Allah tinggikan dan Allah letakkan neraca penyeimbang agar kalian tidak melampaui batas dalam neraca keseimbangan. Dan tegakkanlah keseimbangan dengan adil dan janganlah kalian mengurangi neraca keseimbangan. (QS. al-Rahman: 7-9)

Jika manusia sebagai khalifah Allah yang ditugaskan memakmurkan bumi melakukan pelanggaran dan penyimpangan, terjadilah ketidakseimbangan di alam, seperti banjir, longsor, dan kekeringan, hilangnya daerah resapan air. Jika demikian, tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi dipertanyakan. Apakah telah terjadi penyimpangan, pelanggaran dan pembiaran atas pelanggaran sehingga terjadi kerusakan-kerusakan tersebut?

 

Keseimbangan Interaksi Perempuan dan Laki-laki

Dalam konteks manusia, perempuan dan laki-laki, tidak bisa juga lepas dari prinsip keseimbangan dan keberpasangan tersebut. Jika lepas, salah satu atau keduanya akan menjadi korban ketidakadilan dan diskriminasi. Semisal pemahaman yang cenderung memposisikan perempuan sebagai penggoda dan sumber fitnah akan berakibat pada perempuan dan anak-anak perempuan dalam kehidupan akan mengalami ketidakadilan, kekerasan, pengekangan, dan sebagainya. Karenanya diperlukan sikap adil dan bijaksana dalam membangun pola hubungan/interaksi sosial-budaya antara laki-laki dan perempuan.

Dalam pola interaksi yang tidak adil, tidak seimbang, pihak-pihak yang dipandang lemah atau dilemahkan akan diposisikan secara tidak wajar, dipinggirkan, dan tentunya akan mengalami banyak kerugian. Dalam masyarakat yang bercorak patriarkhi, perempuan dan anak perempuan terbiasa mengalami diskriminasi atau pembedaan dalam kehidupan sosial-budaya. Perempuan juga sering mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dalam masa perkenalan, dalam pergaulan sosial, juga di tempat kerja. Perempuan dikelasduakan. Dunia milik laki-laki. Perempuan dianggap hanya menumpang, sehingga dinilai tidak penting, menjadi pelengkap dan obyek atau maf’ul bihi. Demikian sikap umum kaum patriarkhi. Padahal Nabi Muhammad saw. mengajarkan melalui firman Allah swt.: Hunna libaasul-lakum wa antum libaasul-lahunna (Mereka, perempuan/istri adalah pakaian pelindung bagi kalian, laki-laki/suami dan kalian adalah pakaian pelindung bagi mereka). (QS. al-Baqarah: 187). Nabi  saw. juga menegaskan bahwa kaum perempuan tidak lain merupakan saudara kaum laki-laki (Innaman-nisaa’u syaqaa’iqur-rijaal, HR. Abu Dawud). Sepatutnya perempuan menjadi penting bagi laki-laki dan demikian pula sebaliknya. Tidak ada kelebihan satu atas lainnya, selain dengan ukuran ketakwaan yang hanya Allah Yang Maha Mengetahui, inna akramakum ‘indallahi atqaakum (Qs. al-Hujurat: 13).

Oleh karena itu pemahaman agama yang adil, ramah, tidak lalim, seimbang, tidak berat sebelah, dan tidak menistakan, patut dijaga, dikembangkan, dan dimasyarakatkan. Sebaliknya pemahaman yang serba ektrem, berat sebelah, terlalu condong ke kanan atau ke kiri akan membawa dampak negatif bagi kehidupan, termasuk bagi perempuan atau bagi laki-laki.

Islam sebagai agama yang mengajarkan keadilan mendorong umatnya untuk berpikir dan bertindak seimbang, tidak berlebihan dan atau berkekurangan. Beberapa ayat berikut menjadi bukti akan ajaran keseimbangan dan kepatutan serta sikap moderat (tengahan) tersebut, antara lain: Pertama, Allah menjadikan umat Nabi Muhammad sebagai umat wasathan (tengahan atau moderat) agar bisa menjadi saksi umat manusia sebagaimana dinyatakan Allah swt., wa kadzalika ja’alnaakum ummataw-wasathan li takuunuu syuhadaa’ ‘alan-naasi… (QS. al-Baqarah: 143); Kedua, perintah berdo’a/shalat dilakukan dengan suara yang patut, tidak terlalu keras dan tidak terlalu pelan, namun jalan tengah antara keduanya (QS. al-Isra’: 110); Ketiga, perintah berinfak diajarkan seimbang, tidak boros dan tidak kikir (QS. al-Furqan: 67); dan keempat, dalam berkehidupan tidak dibolehkan tangan terbelenggu di leher (pelit), namun tidak mengulurkannya secara boros yang berakibat pada ketercelaan (karena pelit) dan penyesalan (karena boros). (QS. al-Isra’: 29). Dalam salah satu pendapat yang dikutip oleh Syaikh Athiyah Muhammad Salim dalam Syarah Bulughul-Maram dinyatakan: Khairul umuuri awsathuha (sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah, moderat).

Baca Juga :

Dirasah Hadis 2: Menghindari Ekstremisme dalam Beragama dan Berkehidupan

Dirasah Hadis 3: Perempuan Seringkali Menjadi Terdampak dari Tatharruf (Ekstremitas)

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here