Upaya negara untuk memperhatikan dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas sebenarnya sudah cukup lama. Juga sudah cukup banyak aturan perundang-undangan yang berusaha untuk melakukan sesuatu terhadap kaum disable ini. Berbagai upaya memperjuangkan aksesibilitas ruang publik bagi penyandang disabilitas, juga telah banyak dilakukan pada masa pemerintahan Gus Dur. Ibu Shinta Nuriyah sendiri juga memberikan bantuan kursi roda bagi mereka yang mengalami disabilitas fisik.

Namun, yang perlu dikaji ulang dalam membangun kebijakan bagi penyandang disabilitas seringkali terkendala oleh cara pandang masyarakat terhadap kelompok ini. Selama ini cara pandang masyarakat terhadap kelompok ini masih bersifat charitable atau melihat mereka sebagai kelompok yang perlu disantuni. Padahal, yang terpenting adalah bagaimana membuat penyandang disabilitas secara optimal memberdayakan dan menguatkan diri mereka sendiri. Caranya adalah dengan memberikan hak-hak mereka, dan memperhatikan aksesibilitas mereka  terhadap pemenuhan hak-hak itu.

Terdapat beragam organisasi penyandang disabilitas yang ada dan senantiasa memperjuangkan hak-hak mereka. Ada beragam organisasi yang berbasis keanggotaan seperti  Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI), Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI) yang kini  bernama Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), Federasi Kesejahteraan Penyandang Cacat Tubuh Indonesia (FKPCTI), dan Gerakan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin)  yang senantiasa bahu-membahu memperjuangkan kepentingan mereka, yang akhirnya membuat Convention on the Rights of People with Disabilities (CRPD) diratifikasi oleh pemerintah. Ada pula bentuk-bentuk organisasi yang baru seperti Thisable Enterprise yang berupaya untuk menghubungkan penyandang disabilitas dengan akses ke dunia kerja ataupun Yayasan Mitra Netra -yang menyediakan dan dan mengembangkan layanan untuk tunanetra, di antaranya layanan teknologi informasi untuk kaum tunanetra- yang salah satunya- adalah melalui komputer bicara.

Terkait dengan telah diratifikasinya Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas,  saat ini penyandang disabilitas tengah memperjuangkan agar Undang-undang tentang Penyandang Cacat ini segera diganti dengan undang-undang baru, yaitu Undang-undang tentang Penyandang Disabilitas. Tentu, penggantian undang-undang ini tidak sekedar merubah nama, namun juga terkait dengan cara pandang yang tadinya melihat persoalan disabilitas sebagai persoalan ‘kesejahteraan sosial’,  menjadi urusan ‘hak asasi manusia’. Oleh karenanya, saat ini telah ada Koalisi Penyandang Disabilitas yang mengajukan rancangan undang-undang ini pada DPR. Kabar terakhir, setelah beberapa kali bertemu DPR,  RUU Penyandang Disabilitas akhirnya disepakati masuk di Prolegnas DPR periode ini dan telah berada di Badan Legislasi (Baleg). Diharapkan, di sisa waktu yang tersedia menjelang berakhirnya masa tugas mereka di tahun 2014 ini,  RUU ini bisa segera dibahas melalui Panitia Khusus (Pansus) dan segera disahkan. [i]

Upaya lain adalah mengembangkan pola pendidikan bagi  penyandang disabilitas, yang dulunya melalui penyediaan sekolah khusus seperti Sekolah Luar Biasa (SLB) melalui pengembangan konsep pendidikan Inklusi. Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang didasari semangat terbuka untuk merangkul semua kalangan dalam pendidikan. Pendidikan Inklusi merupakan Implementasi pendidikan yang berwawasan multikural yang dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologis. Melalui pendidikan inklusi ini, seorang penyandang disabilitas juga bisa mengakses pendidikan yang sama dengan peserta didik lain yang tidak mengalami disabilitas. [ii]

Di Jepara, Laila Jauharoh, Kepala Sekolah Dasar SEMAI menerapkan pendidikan inklusi di sekolahnya. Menurutnya, sekolah yang  menggunakan prinsip pendidikan inklusi ini harus menghargai keragaman latar belakang situasi peserta didik.  Siswa regular dan siswa penyandang disabilitas dicampur di dalam satu kelas, agar mereka bisa berinteraksi satu sama lain serta tumbuh empatinya pada siswa lain yang memiliki keterbatasan atau kebutuhan khusus. Meskipun belum bisa melayani siswa tuna netra dan tuna wicara, namun sekolahnya telah menerima siswa tuna rungu yang dalam berkomunikasi ditopang dengan alat  bantu dengar serta menerima beberapa siswa tuna grahita (mengalami retardasi mental) maupun siswa autis. Memang ada tantangan dalam menerapkan sistem pendidikan inklusi ini, karena kebanyakan orang tua menuntut agar anaknya bisa seoptimal mungkin berprestasi dan beranggapan bahwa sekolah yang menerima siswa dengan disabilitas bisa membuat  siswa-siswa regular (non disabilitas) akan ketinggalan pelajaran akibat harus menyesuaikan diri. Bagi si anak sendiri, sebenarnya tidak ada hambatan yang berarti. Justru dalam berinteraksi dengan siswa lain yang menyandang disabilitas, meskipun awalnya mereka sedikit terkejut menemui realitas yang berbeda dengan dirinya, namun  dalam tahap selanjutnya  justru akan tumbuh empati. Interaksi ini akan memunculkan spektrum positif bagi kedua belah pihak; dimana mereka bisa saling menerima, berempati dengan sesama, dan saling menguatkan. [iii]

Oleh karenanya, dalam menerapkan pendidikan inklusi ini Maulani Rotinsulu berpendapat agar tidak dipaksakan. Caranya, adalah terlebih dahulu mempersiapkan agar para siswa disabilitas terbiasa berinteraksi dengan siswa yang yang non disabilitas. Misalnya, mempersiapkan kelas khusus di sekolah campuran. Ataupun membuka ruang agar kelas-kelas pelatihan yang selama ini dimiliki oleh berbagai panti, juga dapat diikuti oleh para peserta lain yang non disabilitas. Interaksi ini akan membuat masyarakat bisa memahami kebutuhan penyandang disabilitas. Dan sebaliknya, membuat siswa disabilitas bisa berdaptasi bila nantinya terjun dalam kehidupan masyarakat yang sesungguhnya sangat beragam. [iv]

Ada contoh unik tentang perspektif pendidikan inklusi ini, yang terjadi di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta saat dipimpin oleh Rektor Prof. Dr. Amin Abdullah beberapa tahun lalu. Prof. Amin, adalah “pejuang inklusif”, ideologi yang mengajarkan agar kita menghargai dan mengakomodasi perbedaan. Salah satu kebijakannya adalah memberikan beasiswa atau bantuan dana pendidikan di universitas  kepada mahasiswa yang menyandang disabilitas. Dasar pemikirannya, sebagai mahasiswa, penyandang disabilitas membutuhkan dana lebih besar dalam menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk untuk studi. Di antaranya, untuk mengakses referensi secara mandiri, mahasiswa tuna netra harus memiliki alat-alat bantu teknologi. [v]

Secara spesifik, terdapat pula upaya untuk memperkenalkan pendidikan kesehatan reproduksi  remaja penyandang disabilitas yang diajarkan lewat MAJU (Media Kesehatan Reproduksi Remaja Tunarungu) dan Langkah Pastiku! untuk remaja Tunanetra. Pengembangan Modul MAJU dan Langkah Pastiku! dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa remaja tuna rungu dan tuna netra memiliki hak yang sama dengan remaja lainnya untuk mendapatkan akses informasi dan layanan kesehatan reproduksi. Adapun media pembelajaran yang dikembangkan meliputi modul cetak dan braille, modul training untuk guru dan master trainer, boneka kesehatan reproduksi, celemek kesehatan reproduksi, kamus bahasa isyarat kesehatan reproduksi berbentuk cetak dan CD. [vi]

Berbagai ikhtiar itu patut diapresiasi  dan dikembangkan agar penyandang disabilitas  benar-benar bisa mendapatkan pemenuhan atas hak-hak dasarnya.  Selain itu, negara juga punya pekerjaan rumah untuk perlu mewujudkan kota yang ramah bagi penyandang disabilitas dengan memberikan aksesibilitas dan akomodasi yang layak (reasonable accommodation) bagi  mereka. Jadi, apa yang telah diterapkan oleh Australia seperti di Melbourne maupun di Malaysia, negara tetangga kita yang sesama anggota ASEAN patut untuk diteladani. Bukankah tugas kekhalifahan kita di dunia adalah untuk menyebarluaskan rahmat-Nya pada siapapun juga?{} AD. Kusumaningtyas

Baca Juga:

Fokus 1: Mengenal dan Memahami Lebih Jauh Orang dengan Disabilitas

Fokus 2: Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia

Fokus 3: Problematika Perempuan Penyandang Disabilitas

Fokus 4: Bagaimana Agama (Islam) Memandang Soal Disabilitas

[i] Wawancara melalui telepon dengan Bapak Drs. Bambang Basuki, Direktur Yayasan Mitra Netra, Jakarta, Jum’at  13 Juni 2014.

[ii] Lihat pengertian pendidikan inklusi ini sebagaimana dikutip dari situs http://www.slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=78KESIAPAN, diakses  Senin 12 Mei 2014 , pukul 18.05 WIB.

[iii] Hasil wawancara dengan Laila Jauharoh, Kepala Sekolah Dasar SEMAI Jepara, Jum’at 13 Juni 2014).

[iv] Lihat wawancara dengan Maulani A.Rotinsulu pada rubrik Opini Swara Rahima edisi 45 tahun 2014 ini).

[v] Lihat tulisan Aria Indrawati, Alokasi Zakat dan Infak Memberdayakan Penyandang Disabilitas?, sebagaimana dikutip dari situs Sumber ;  http://majalahdiffa.com/index.php/gagasan/kolom/pelangi/34-adakah-alokasi-zakat-dan-infak-untuk-memberdayakan-penyandang-disabilitas; diakses  Jum’at 9 Mei 2014, pk. 11.11 WIB.

[vi] Lihat tulisan berjudul  Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja  sebagaimana dikutip dari situs http://edukasi.kompas.com/read/2010/09/29/20131497/Pendidikan.Kesehatan.Reproduksi.Remaja .

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here