AGPAII, Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia, adalah organisasi yang dibangun oleh guru-guru agama di empat jenjang pendidikan se-Indonesia. Pendirian asosiasi ini tidak lain bertujuan membentuk organisasi profesi yang independen berdasarkan UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen.
Walau terbilang baru, kiprah AGPAII telah banyak memberi pengetahuan tambahan bagi guru-guru agama Islam di Indonesia. Berbagai kerja sama pun telah dilakukannya. Sebagai organisasi yang dekat dengan Direktorat Jendral PAIS (Pendidikan Agama Islam), pimpinan Imam Tholhah, AGPAII juga bekerjasama dengan Rahima melalui program membangun keragaman bagi guru-guru PAI. Program ini dibangun untuk memberi keragaman wacana kepada para guru Agama Islam tentang persoalan sosial saat ini. Kegiatan pertama yang telah diselenggarakan yaitu pelatihan pendidikan kritis berperspektif kesetaraan dan keadilan.
Kegiatan pada 29 Januari – 1 Februari lalu ini, digelar di Gedung LPPM Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pesertanya datang dari wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Masing-masing daerah mengirimkan 4 orang peserta dari 4 jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA, SMK).
Helmi Ali yang bertindak sebagai fasilitator dalam pendidikan kritis ini, mengajak peserta berefleksi atas realitas paradigma sistem pendidikan yang ada di masyarakat saat ini. Ia juga mengajak peserta membaca pemikiran Poulo Freire tentang pendidikan kritis dalam menghadapi realitas sosial. Dari sini peserta dapat melihat, selama ini kita telah menempatkan murid sebagai obyek yang dianalogikan sebagai bejana kosong yang harus diisi oleh guru. Untuk itu, membangun pendidikan yang memanusiakan manusia ala Paulo ini bisa jadi alternatif yang baik bagi sistem pendidikan kita. Sebab, dalam model pendidikan Paulo, siswa diakui sebagai subyek yang juga memiliki pengalaman dan pengetahuan. Tugas guru adalah mengarahkan siswa, menggali pemikiran serta pengalamannya. Sehingga praktiknya nanti, guru tidak harus selalu berbicara dan murid mendengarkan dan menerima informasi saja, tapi ada dialog di antara keduanya.
Sementara Farha Ciciek yang memandu materi kesetaraan dan keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan, coba memulai materi dengan memetakan siapa yang bila dilahirkan kembali memilih jadi laki-laki atau perempuan? Dari pertanyaan ini, tidak seorangpun dari peserta laki-laki yang memilih jadi perempuan, sehingga peserta perempuan yang jumlahnya hanya 4 orang tidak mendapat penambahan anggota. Pertanyaan singkat ini mengantarkan peserta membahas relasi lelaki dan perempuan yang terbentuk dalam masyarakat selama ini.
Selain itu, Siti Ruhaini Dzuhayatin, dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, juga turut memandu materi gender dalam pendidikan. Ia juga mengajak peserta melihat bagaimana sistem gender bermain dalam pendidikan kita dan masuk ke semua sistem dan bahan ajar di sekolah-sekolah. Hal ini dilakukannya dengan mengajak peserta menilai beberapa bahan ajar mata pelajaran agama untuk SMA, yang di dalamnya sarat dengan persoalan gender.
Terakhir, KH. Husein Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon yang juga anggota komisioner di Komisi Nasional Perempuan, hadir memberikan materinya. Oleh Kyai Husein, peserta diarahkan untuk berdiskusi tema-tema perempuan dalam perspektif keislaman. Tidak mudah memang memahami persoalan keagamaan khususnya terkait realitas dan wacana baru tentang Islam dan perempuan. Namun demikian, ini adalah langkah awal membangun Guru Agama yang memiliki wawasan beragam. Sebab itu sebelum acara uai, para peserta sepakat merumuskan Recana Tindak Lanjut (RTL), dan mengevaluasi seluruh proses yang telah mereka lewati bersama dalam beberapa hari itu. Selamat berjuang AGPAII. [ ] Leli Nurohmah