Oleh: KH Muhyiddin Abdusshomad
Satu dari tiga orang istri pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (Ciciek, 1999:28). Fakta ini cukup mengejutkan. Betapa tidak, kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga hampir mencapai separuh jumlah kehidupan pasangan suami istri. Boleh jadi, kita malah termasuk salah satu di antara pelakunya. Tetapi mudah-mudahan tidak demikian.
Bahwa dalam perbincangan wacana fiqh perempuan terdapat bahasan tentang kekerasan dalam rumah tangga, adalah sesuatu yang empiris, yang tak dapat kita elakkan. Hal itu lantaran tindak kekerasan dalam rumah tangga banyak mencuat ke permukaan. Bahkan dijumpai juga, ada seorang istri yang nekad melaporkan tindakan bringas dan kasar suami kepada polisi. Kasus Nur Afni Octavia – seorang pelantun lagu rohani gerejawi dan seorang selebritis terkemuka – adalah contoh kasus yang faktual dan sekaligus aktual.
Pada dasamya, kekerasan adalah semua bentuk prilaku, balk verbal maupun nonverbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau sekelompok orang lain, sehingga menimbulkan efek negatif secara fisik, emosional dan psikologis (Hayati, 2000:28). Kekerasan dalam rumah tangga bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan ekonomi dan juga kekerasan seksual (Hayati, 1999: 1).
Perkosaan Dalam Rumah Tangga
Pemerkosaan merupakan bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh laki-laki maupun perempuan. Kekerasan seksual ini bisa dilakukan laki-laki terhadap perempuan tapi bisa juga sebaliknya. Namun yang umum terjadi pelakunya adalah lelaki.
Pemerkosaan merupakan perbuatan memaksa dalam melakukan hubungan senggama, baik dengan cara persuasif maupun represif Singkat kata, pemerkosaan adalah persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, antara laki-laki dengan laki-laki (homoseksual), perempuan dengan perempuan (lesbian), yang dilakukan tidak atas dasar kesukarelaan dan sarat dengan pemaksaan.
Pemerkosaan bisa diidentivikasi dalam empat macam.
Pertama, pemerkosaan dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban, bisa teman, pacar, rekan kerja, anggota keluarga maupun tetangga. Namun bukan berarti tertutup kemungkinan pemerkosaan dilakukan oleh orang asing yang tidak dikenal korban.
Kedua, pemerkosaan saat kencan. Pemerkosaan yang dilakukan oleh pacar atau teman dekat saat berciuman, namun ia tidak menghendaki seksual.
Ketiga, pemerkosaan dengan ancaman halus. Pemerkosaan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada korban. Seperti majikan terhadap pembantu, atasan terhadap bawahan, guru terhadap murid, ipolisi terhadap tahanan dan lain sebagainya. Dan, biasanya, pemerkosaan itu dilakukan dengan cara bujuk rayu, mengumbar janji dan tipu muslihat.
Pemerkosaan dalam perkawinan. Pemerkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, dengan cara memaksa untuk minta dilayani melakukan hubungan badan, tanpa melihat dan mempertimbangkan kesediaan dan kesiapan pasangannya masing-masing (Taslim et.al,: 30-33).
Pomerkosaan dalam perkawinan atau lazim juga disebut dengan “marital rape” dalam kebiasaan dan budaya hubungun seksual di Indonesia relatif tidak begitu populer. Pemerkosaan diasumsikan dengan perbuatan cabul seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara memaksa untuk melampiaskan dorongan hawa nafsu seks. Perbuatan itu dilakukan tidak dengan kesediaan dan juga tidak dalam konteks rumah tangga. Terlihat sekali bahwa definisi pemerkosaan mengalami reduksi. Pemerkosaan dalam rumah tangga tidak dimasukkan dalam katagori perbuatan ini. Maka dari itu, pemerkosaan dalam rumah tangga masih tergolong kontroversial.
Walaupun demikian, kaum perempuan Indonesia cukup gigih untuk memperjuangan wacana bahwa jika suami yang memaksa istri melayani nafsu birahinya padahal istri tidak bersedia melakukannya dengan sukarela, maka itu termasuk pemerkosaan dalam rumah tangga. Pemekaran definisi tersebut tidak lepas dari pengaruh pandangan budaya barat. Bahwa segala hubungan seksual yang ditandai dengan pemaksanaan adalah pemerkosaan. Termasuk dalam rumah tangga tersebut.
Tinjauan Hukum Islam
Islam mengajarkan prinsip mu’asyarah bil ma’rqf (hubungan yang baik dan sukarela) dalam melakukan relasi seksual. Antara suami dan istri harus saling memberi dan menerima, saling mengasihi dan menyayangi, tidak saling menyakiti, tidak saling memperlihatkan kebencian, dan tidak saling mengabaikan hak dan kewajibannya masing-masing (Muhammad, 2001:112). Bahkan, mu’asyarah bil ma’rqf itu merupakan salah satu dasar pengembangan fiqh perempuan yang mencoba memanusiakan manusia dan memperlakukan manusia dengan baik, terutama dalam hubungan suami istri (Hasyim, 2001:264).
Prinsip di muka mesti diberlakukan dalam ‘adegan ranjang’ antara suami dan istri. Suami maupun istri hendaknya tidak melakukan hubungan seksual yang bertentangan dengan prinsip tersebut. Suami dituntut untuk memperlakukan istri dengan baik. Istri pun dituntut untuk memperlakukan suami dengan balk. Itikad dan usaha untuk memberikan yang terbaik bagi pasangan masing-masing, bukan sekadar dianjurkan melainkan diharuskan. Jumhur fuqoha (sebagian besar ahli fiqh) sepakat bahwa suami ataupun istri wajib melayani, bila mana pasangannya hendak menyetubuhi (Ismail, 1990:68). Bila tidak mau, maka ia berdosa. Rasulullah SAW bersabda
“Setiap laki-laki yang menolak perminlaan istri untuk bersetubuh, maka ia berdosa satu Qirath ” (HR. Abdul Qadir Jailani).
Oleh karena itu, suami tidak mempunyai hak monompoli seksual. la tidak boleh hanya memikirkan kenikmatan sendiri dan mau enaknya sendiri. Sebab hubungan seksual harus didasarkan pada kesetaran gender, tidak ada yang superior dan imferior. Semua sama-sama berkewajiban untuk melayani dan memberikan pelayanan yang terbaik. Suami dan istri, keduanya adalah pelayan bagi pesangannya masing-masing.
Dari uralan di atas, sudah jlas bahwa pemerkosaan dalam rumah tangga tidak boleh. Hal itu bertentangan dengan firman Alllah:
“Mereka itu (istri-istri kamu) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka ” (QS. AL-Baqarah /2:187).
“Dan bergaulah dengan mereka secara patut (QS. An-Ni sa/4:19)
“Sebaik baiknya kalian (kaum laki-laki) adalah yang paling baik kepada istrinya “. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Dengan demikian, suami maupun istri tidak boleh memaksa melakukan hubungan seksual. Sebab memaksa itu sama halnya dengan memperlakukan pasangannya tidak manusiawi, memandang pasangannya sebagai obyek pelampias nafsu, serta menempatkan pasangannya seperti layaknya orang yang dijajah. Padahal, suami maupun istri adalah setara yang mempunyal kedudukan yang sama yang harus diperlakukan dengan baik.
Berangkat dari prinsip mu’asyarah bil maruf dan anjuran berbuat baik kepada istri, yakni tidak melukai hatinya, tidak menyakiti fisiknya, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, juga memahami muatan kata “libas” pada ayal 187 berarti saling melindungi (Al-Qardhawl, 1977: 201) dalam segala persoalan, maka harus diupayakan penyesuaian dan penyamaan sikap termasuk dalam masalah hubungan seksual antara suami istri harus dilakukan dengan penuh kerelaan, tidak ada keterpaksaan diantara kedua belah pihak. Sedangkan memaksa berhubungan seksual kepada istri atau sebaliknya itu bertendensi idza’ (menyakiti) salah satu pihak. Hal tersebut tentu merupakan perbuatan haram.
Sedangkan hadits-hadits la’nat bagi istri yang tidak melayani suami, itu harus diinterpretasikan sebagai motivasi kepada istri agar selalu berusaha melakukan penyesuaian dengan suami; demikian juga sebaliknya. Istilah la’nat itu sendiri tidak berarti haram. Buktinya para ulama fiqih masih memberi batas apabila tidak ada udzur syar’i seperti sakit atau capek yang luar biasa.
Wacana ini tentu terbuka untuk didiskusikan lebih mendalam agar kita bisa menyajikan Islam sesuai dengan misi keadilan dan kesetaraan yang dibawanya.***
————————
* KH Muhyiddin Abdusshomad, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Jember.