Arti baligh/remaja/al muraahaqah dari sisi kapan datangnya kedewasaan tidak bisa ditentukan secara pasti dalam bentuk angka-angka. Terjadi perbedaaan pendapat antar ulama, daerah hingga negara. Indonesia menetapkan batas usia minimal 16 tahun bagi perempuan dan laki-laki 19 tahun dalam pernikahan seperti dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, memberi isyarat bahwa mereka sudah dianggap dewasa oleh negara.
Baligh atau remaja puber sejatinya dipahami sebagai salah satu fase dari proses perkembangan rentang-hidup yang akan dialami setiap manusia secara wajar, bukan sesuatu yang rigid dan harus dihadapi secara berlebihan. Maka bentuk sterotype atau pelabelan negatif yang disematkan kepada baligh khususnya balighah adalah sesuatu yang berlebihan. Allah berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Islam: sesuai dengan fitroh Allah,disebabkan dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Iitulah ) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.“ (Q.S Ar Rum: 30)
Membatasi gerak perempuan karena baligh juga bukan suatu yang bijak. Ada hak anak perempuan untuk merengkuh cita-cita dalam kehidupannya. Tambah wawasan dan peningkatan pendidikan tidak boleh diabaikan hanya karena justifikasi balighah .
“Man kaana lahu tsalaatsu banaatin au tsalaatsu akhawaatin au bintaani au ukhtaani fadabahunna waahsana ilaihinna wa jawwajahunna falahu al-jannah”
Artinya :
“Barang siapa mempunyai tiga putri atau tiga saudara perempuan, atau dua putri/dua saudara perempuan , kemudian ia berlaku baik kepada mereka dan mereka bertakwa kepada Allah atas apa yang berkenaan pada mereka, maka baginya surga)kemudian menikahkannya , maka baginya surga. ( H.R Tirmidzi dan Abu Dawud)
Dalam riwayat yang lain dinyatakan:
وَأَعْتَقَهَا فَتَزَوَّجَهَا فَلَهُ أَجْرَانِ فَأَحْسَنَ تَعْلِيمَهَا وَأَدَّبَهَا فَأَحْسَنَ تَأْدِيبَهَا مَنْ كَانَتْ لَهُ أَمَةٌ فَعَلَّمَهَا
Artinya:
“Siapa saja yang mempunyai seorang budak perempuan, kemudian mengajarinya (pengetahuan) dan memperbaiki pengajarannya, mendidiknya dan memperbaiki pendidikannya kemudian memerdekakan dan menikahkannya maka bagi orang tersebut mendapat dua pahala.”
Diterangkan dalam hadis riwayat Bukhori dalam kitab sahihnya, perempuan-perempuan Anshar Madinah protes akan keberadaan kaum muslimin yang bebas mengikuti pengajaran Rasulullah. Kemudian Rasul merespon usulan perempuan Anshar dengan memberikan kesempatan waktu dan tempat untuk mengajari mereka.
Sementara konsep balighah yang digunakan sebagian orang tua untuk melegitimasi anak menikah pada usia remaja hendaknya dikaji ulang. Karena pernikahan adalah fase perjalanan hidup dua orang manusia yang harus dibarengi komitmen yang tinggi, Mitsaaqaan Gholidza agar tidak terputus di tengah jalan, dan tercipta keluarga yang Qurrota ‘ayyun ( Q.S al Furqon:74) mu’asyarah bil ma’ruf, mawaddah sakinah wa rahmah (Q.S ar Rum:21) dalam biduk perkawinannya. Ini bisa dicapai jika personalnya siap dan dewasa secara mental dan fikiran. Remaja awal dalam usia 10-15 tahun jelas tidak memungkinkan dapat melakukannya, karena secara psikologi masa-masa itu adalah masa mencari jati diri hingga terlihat plin-plan, moody, dan cenderung merasa benar sendiri serta tidak mau disalahkan. Sikap dan temperamental seperti ini akan hilang secara berangsur-angsur seiring dengan perkembangan fisiknya.
Ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Jika masih muda dalam umur, dan psikis bahkan mungkin minim wawasan dan pengetahuan, tentu akan sulit untuk mewujudkan dirinya sebagai madrasah pertama untuk mewujudkan generasi yang kuat, sementara Allah menganjurkan untuk membentuk generasi yang kuat. Ini tersurat dalam Q.S an-Nisa, 4:9 , Q.S, al Luqman, 31: 12-19, QS. Al Isra, 17 : 23-24. Ketetapan ini dikukuhkan pula oleh hadis tentang adanya hak anak yang harus dipenuhi orang tua yaitu: mengajarkan baca-tulis, renang, memanah dan tidak memberi rizki kecuali yang baik (halal) sebagaimana H.R Hakim dan Baihaqi dari Abu Rafi.
عن أبى رافع رضي الله عنه قال : قلت , يا رسول الله ,للولدعلينا حق كحقنا عليهم؟ قال : نَعَمْ, حَقُّ الوَلَدِ عَلَى الوَالِدِ أَنْ يُعَلِّمَهُ الكِتَابَ وَالسِّبَاحَةِ وَالرِّمَايَةِ وَأَنْ لاَ يَرْزُقَهُ إِلاَّ طَيِّبًا
Artinya:
“Dari Abu Rafi’ RA berkata: Aku berkata, ya Rosulallah, apakah anak mempunyai hak dari kita seperti halnya hak kit adari mereka? Rosulullah bersabda: Iya, anak mempunyai hak dari orang tuanya untuk mengajarinya Alquran, berenang, memanah dan juga tidak memberi rezeki kecuali yang baik.”
Sementara dari sisi kesehatan reproduksi, pernikahan remaja awal dan remaja pertengahan akan membawa dampak besar. Kehamilan yang terjadi di bawah usia 20 tahun akan meningkatkan resiko keguguran, pertumbuhan janin terhambat karena alat reproduksi ibu belum berkembang sempurna, pemberian asi terancam tidak lancar sampai kesulitan dalam persalinan. Kondisi ini pada akhirnya akan meningkatkan resiko kematian ibu dan anak(AKI).
Penutup
Penetapan ketentuan kedewasaan seorang remaja termasuk mengidentifikasi tanda-tandanya tidak mudah, karena setiap daerah hingga negara mempunyai skala yang berbeda dari sisi budaya untuk menentukan kapan individu dipandang sebagai manusia dewasa secara formal. Yang dipandang ideal adalah menetapkan dewasa jika masa pubertas telah selesai, setidaknya mendekati selesai. Alasannya adalah organ kelamin anak akan mencapai kematangan mental secara optimal dan siap berproduksi. Kondisi ini terjadi pada usia 21 tahun.
Kedewasaan yang dicapai individu tidak dilihat hanya dilihat dari sisi perkembangan fisik yang terjadi selama rentang hidup (life span development). Kedewasaan akan muncul seiring dengan perubahan-perubahan fisik dalam perjalanan hidup seseorang, yang berimbas kepada perubahan sikap, proses kognitif, dan prilakunya. Seiring pertumbuhan fisik tersebut, akan tampak adanya perbedaan dalam pengambilan keputusan serta problem solving yang dihadapinya.
Karena alasan-alasan tersebut, makna baligh dalam arti pencapaian kedewasaan seseorang tidak bisa dilihat dengan satu perspektif saja, meskipun itu perspektif agama sekalipun. Batasan umur juga tidak menjadi jaminan seseorang dikatakan dewasa. Gaya hidup, pola asuh dalam keluarga, kondisi geografi, tempat tinggal seperti pedesaan dan perkotaan akan mempengaruhi percepatan tingkat kedewasaan seseorang. Oleh sebab itu dituntut adanya kearifan dan sikap yang bijak dalam pengambilan keputusan terhadap baligh dan balighah agar tidak merugikan masa depan dan mematikan potensi mereka yang masih berkembang. Wallahu ‘Alam bish-Shawab.
Baca Juga:
Dirasah Hadits 1: Pemaknaan Baligh versus Dewasa dalam Beragam Konteks
Dirasah Hadits 2: Baligh Perspektif Fiqh
Dirasah Hadits 3: Baligh perspektif Psikologi
DAFTAR PUSTAKA
Ali Ashobuni, Muhammad, Pernikahan Dini yang Islami (Jakarta: Pustaka Amani, 1996)
At Turmudzy, Sunan, Al Jamiusshoheh, Juz 1 ( Indonesia : Wahdan, t.th)
Al Qastholani, Ibnu Hajar, Bulugh marom, ( Indonesia :Ihya Kutub “Arobiyah, : t.th)
Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2009)
Depag RI, Al Hikmah : Quran dan Terjemahan ( Bandung: Diponegoro, 2007)
——-, Fathul Baary, ( Beirut : Dar elfkr , t.th)
Kemenag, Tafsir maudhui : Kedudukan & Peran Perempuan, ( Jakarta : Sinergi Pustaka, 2012)
LKPSM, Otonomi Perempuan menabrak Ortodoksi, ( Yogyakarta : LKPSM, 1999)
——Maktabah Syamilah ( Mekkah, 2011 )
Musthofa, Atadzhib ‘ala matan Abi Syujaa’ ( Indonesia : Mahfudzoh , t.th)
Nafis, Cholil, Fiqih Keluarga, ( Jakarta : Mitra Abadi Pres, 2009)
Nakhai, Imam dkk, Fiqh Buruh Migran ( Cirebon : Isif, 2012)
Nasih Ulwan, Abdullah, Tarbiyatul awlaad, juz I ( Beirut : Dar al Salam, 1999 )
Nawawi, Muhamad, Syarah Kasyifatussaja ( Surabaya : Kharisma, t.th)
Rusd, ibnu, Bidayatul mujtahid, Juz I ( Indonesia : Dar elKutub, 2007 )
——, Shohih Muslim , Juz 1 ( Beirut : Dar Elfkr, t.th)
Sarwono, Sarlito Wirawan, Psikologi Remaja, ( Jakrta ; Raja Grafindo Persada, 2002 )
Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqh al Islamy, Juz I ( Damascus: Dar Elfikr, 2005)