Shinta Nuriyah Wahid yang lahir di Jombang pada 8 Maret 1948 adalah istri dari Presiden Indonesia keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjabat dari tahun 1999 hingga tahun 2001. Pasangan ini dikaruniai 4 orang putri: Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Dari keempat putri itu hanya Si Bungsu yang belum berkeluarga. Nenek dari 9 orang cucu ini di masa mudanya bernah menjadi wartawan di Majalah Zaman (1980-1985). Beliau juga pernah bekerja dengan Syu’bah Asa di Majalah TEMPO. Tahun 1993, Ibu Shinta mengalami kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan beliau harus banyak beraktivitas di atas kursi roda. Meskipun demikian semangatnya tak pernah surut. Beliau bahkan berhasil menyelesaikan jenjang S2 pada Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia pada 1999. Aktivitas beliau tetap padat. Salah satu hal yang aktif beliau perjuangkan adalah hak-hak perempuan melalui Yayasan Puan Amal Hayati yang didirikannya pada tahun 2000. Yang lain, memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas dalam kapasitasnya sebagai penasihat di Korlantas (Korps Polisi Lalu Lintas) Mabes Polri. Sejumlah aktivitas sosial keagamaan dan antar iman termasuk pembelaan tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi bagian yang tak lepas dari kepeduliannya atas kondisi sosial masyarakat sehari-hari. Berikut hasil wawancara Swara Rahima dengan Ibu Shinta di kediaman beliau di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Apakah Negara sudah mengapresiasi orang dengan hak-hak disabilitas?
Belum, karena banyak orang-orang disabilitas masih mengalami diskriminasi dan tidak difasilitasi serta mengalami pelanggaran-pelanggaran. Belum terpenuhinya hak-hak orang dengan disabilitas dapat ditunjukkan melalui contoh yang banyak sekali. Soal aksesibilitas saja implementasi kebijakan negaranya belum ada. Misalnya di jalan raya, stasiun, terminal, bahkan Bandara. Padahal saat Bandara dibangun, saya kesana. Saya katakan, “Tolong kebutuhan untuk orang dengan disabilitas, diperhatikan dan diimplementasikan.”
Berdasarkan pengalaman saya ketika Gus Dur menjadi presiden, pernah mengadakan Asia Pacific Conference mengenai “The Rights of the People with Disabilities”. Ketika itu, banyak sekali peserta yang akan hadir. Namun ada yang gagal karena terhambat berbagai hal. Sebagai contoh, bagi mereka yang tuna netra biasanya mereka ditemani oleh anjing, karena seringkali anjing lebih setia daripada manusia dan anjing bisa menunjukkan jalan. Namun, kebijakan di Indonesia tidak bisa menerima anjing masuk hotel. Itu baru salah satu contoh. Ada banyak lagi dalam hal hak-hak yang lain.
Upaya apa yang telah dilakukan untuk menjawab persoalan ini?
Jauh sebelum pada tahun 2000, kami membuat gerakan, seperti membuat loket khusus di stasiun untuk penyandang disabilitas yang mengenakan kursi roda. Toiletnya juga disediakan yang bisa digunakan oleh pengguna kursi roda. Bagi tuna netra berbagai pengumuman juga dibuat dalam huruf Braille. Kami juga membuatkan lift dan tempat parkir khusus bagi penyandang disabilitas. Tetapi, begitu Gus Dur turun dari Presiden, semuanya hilang. Parkiran sudah kembali campur, jalan untuk penyandang disabilitas juga hilang, loket khusus juga hilang, yang ada hanya lift. Mana penghargaannya? Masyarakat kurang perhatian karena pemerintah juga kurang perhatian pada penyandang disabilitas. Bila perhatian pemerintah kurang, maka yang terjadi di masyakat lebih kurang lagi.
Berdasarkan pengalaman pribadi, apakah Ibu atau almarhum Gus Dur pernah mengalami diskriminasi karena disabilitas?
Pertanyaan ini menurut saya tidak tepat ditujukan kepada saya karena jawaban saya menjadi tidak mewakili orang dengan disabilitas. Sekalipun Gus Dur mengalami gangguan penglihatan tetapi faktanya Gus Dur bisa menjadi kepala Negara. Sekali pun saya memakai kursi roda, saya bisa menjadi Ibu Negara. Bahkan sampai sekarang pun saya tetap aktif melakukan berbagai kegiatan, terutama di bulan Ramadhan saya mengadakan Sahur Keliling ke daerah-daerah selama sebulan penuh.
Pergi ke daerah-daerah dan blusukan itu sudah saya lakukan sebelum saya menjadi Ibu Negara dan masih tetap bisa melakukannya sampai sekarang. Bahkan saya bisa turut membentuk Komnas Perempuan. Saat ini saya juga diangkat sebagai pelapor khusus dalam bidang intoleransi dan lintas agama dampaknya kepada perempuan. Saya juga diminta untuk membantu Komnas HAM, di Korlantas, dan masih banyak lagi.
Bagaimana pengalaman Ibu dalam hal aksesibilitas di ruang publik?
Alhamdulillah, selama Gus Dur menjabat sebagai presiden, saya tidak pernah mendapat diskriminasi dari masyarakat. Saat itu, saya juga masih mengikuti kuliah S2 yang berada di lantai 4. Waktu saya masih di semester 1, pada saat berada di dalam lift, tiba-tiba lift-nya mogok. Lalu, Dosen yang bagian pengajaran mengatakan, “Ibu mohon maaf, saya tidak bisa menyediakan ruang kuliah di lantai 1. Jadi sekarang terserah ibu.” Ini tantangan buat saya, karena yang membutuhkan ilmu itu saya. Bukan UI yang membutuhkan saya. Jadi masalah ini harus bisa saya tanggulangi. Untuk itu saya langsung membuat tandu dari bambu dengan kursi plastik, setiap hari saya diangkat ke atas ke lantai 4 melalui tangga. Dalam hal ini saya tidak mendapatkan hambatan apa-apa ataupun diskriminasi dari orang lain.
Oh, iya, … sebenarnya secara khusus saya tidak pernah mengalami perlakuan diskriminatif di Indonesia. Namun pernah sekali saat saya ke negara Israel (yang mungkin karena ada pengaruh suasana perang), bila mau naik taksi dan mereka melihat ada kursi roda di dekatnya, sopir taxi tidak mau. Mereka hanya melihat saja sementara saya menunggu. Saya merasa ada diskriminasi, meskipun tidak terlalu. Namun bagi turis lain, perlakuan seperti itu membuat mereka merasa terdiskriminasi.
Ikhtiar apa yang pernah Ibu lakukan untuk penyandang disabilitas?
Saya bisa memberikan contoh, mengenai apa yang saya sebut dengan ‘dari disable untuk disable’. Ketika itu saya masih latihan fisioterapi di RS. Fatmawati di daerah Jakarta Selatan. RS itu mempunyai sebuah bengkel namanya “Bengkel Merdeka” untuk membuat kursi roda, walker, dan segala sesuatu dengan bahan yang biasa digunakan oleh penyandang disabilitas dengan harga terjangkau. Kebetulan saat itu belum ada Yayasan Puan Amal Hayati tetapi saya sudah bekerjasama dengan RS. Fatmawati untuk membuat kursi roda bagi pengandang disabilitas yang membutuhkan. Strategi yang saya gunakan, dengan memberikan pendidikan terhadap orang yang menerima bantuan serta untuk menguatkan rasa percaya dirinya, maka orang itu harus menebus kursi roda dengan uang sebesar Rp 20.000,-Sebenarnya uang sebesar itu sekedar untuk administrasi dan untuk membayar para pekerja yang ada disitu. Para pekerja itu juga disable. Selain itu, orang-orang di bengkel Merdeka juga melakukan banyak hal: ada yang menjahit, membuat bros dan segala macam. Saya dengar dari mereka bahwa untuk pulang pergi ke RS Fatmawati mereka harus naik kendaraan umum. Disana mereka kerap mendapat perlakuan diskriminasi, kalau mereka naik bis, kenek ataupun penumpang lain seringkali tidak membantu. Mereka menganggap penyandang disabilitas merepotkan.
Salah satu klausul dalam UU No. 1 tahun 1974 menyatakan salah satu alasan suami bisa berpoligami atau menceraikan istrinya, adalah bila istri mendapatkan cacat badan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri. Bagaimana sebenarnya ajaran Islam melihat persoalan ini?
Di lihat dari konteksnya, itu sudah tidak adil, karena laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama. Apa karena mengalami disabilitas fisik, kemudian istri langsung bisa diceraikan. Bagaimana pun secara fakta tidak seperti itu. Undang-undang itu sepertinya adil, tetapi dalam penerapan semuanya itu harus dengan kebijakan.
Pada saat saya latihan di RS Fatmawati, saya bertemu dengan seseorang yang agak retarded (mengalami gangguan mental, red.). Dia latihan di RS sejak umurnya masih 11 bulan. Sekarang dia sudah dewasa, kebetulan dia anak tunggal dan anak orang kaya. Dia tidak bisa berjalan, dan kalau berjalan lehernya mesti dipegang. Tapi dia bisa shalat. Orang tuanya lalu menikahkan ia. Sekarang ia telah memiliki anak yang cantik-cantik. Tampaknya ia tidak memiliki masalah dalam perkawinan. Ada juga seorang pegawai rumah sakit yang mengalami cacat karena kecelakaan, lalu dia menikah dan tidak masalah.
Jadi, jangan jadikan UU itu sebagai alasan untuk melakukan itu. Harus dilihat secara bijaksana. Jangan sampai kekurangan pasangan dipakai untuk melakukan perbuatan perceraian yang semena-mena. Jadi, menurut perspektif gender aturan itu merupakan sikap yang tak adil untuk laki-laki dan perempuannya. Menurut saya, rumusan itu masih kurang lengkap harus disempurnakan.
Bagaimana pemenuhan hak-hak dasar bagi perempuan dan disabilitas dalam bidang politik, sosial, dan kesehatan ?
Mereka belum mendapatkan semuanya itu, akses disabilitas saja belum ada. Padahal di Jepang semuanya sudah tercukupi. Saya diundang oleh Gubernur Okinawa untuk berbicara bersama para dokter di WHO tentang dampak penyakit menular kepada perempuan. Saya sempatkan waktu di Osaka untuk mengunjungi sebuah rumah sakit khusus untuk disabilitas dengan segala peraturannya. Tidak hanya disabilitas, orang-orang yang paraplegia (orang-orang yang tidak bisa apa-apa karena kerusakan fungsi sensorik dan motorik tubuh)dibuatkan rumah dan membuat mereka yang bisa mandiri. Mereka latihan mengendarai mobil yang disesuaikan dengan orang-orang disabilitas. Semua kebutuhan mereka terpenuhi. Apalagi di jalan, ada trotoar bagi tuna netra dan ada tandanya. Fasilitas kereta api bagi tuna rungu juga ada sendiri. Di sana semuanya tersedia, sementara di sini tidak ada.
Jadi, hak-hak penyandang disabilitas apa saja yang masih terlanggar? Kalau politik sudah jelas. Misalnya bidang legislatif. Pandangan awam, kalau mereka yang normal saja berebutan, buat apa memperhatikan orang-orang yang cacat. Hak untuk memilih saja belum terpenuhi, apalagi untuk dipilih. Sering sekali tidak ada huruf Braielle, jadi bagaimana caranya mereka akan memilih. Informasi untuk memilih jugatidak ada.
Dalam hal ekonomi, misalnya mencari pegawai dipilihlah yang normal, karena anggapan bahwa yang cacat itu lebih jelek dari pada yang normal. Padahal faktanya orang disabilitas seringkali lebih pintar dan lebih berkualitas dari pada orang-orang yang normal.
Dalam bidang olah raga pun demikian, didahulukan yang normal. Padahal yang disabled juga bisa turut mengharumkan nama bangsa.
Di bidang sosial, bila ada penyandang disabilitas, dalam pergaulan seringkali mereka tidak bisa diterima. Dalam percaturan pergaulan, misalnya ada perlombaan mereka tidak bisa partisipasi, karena seringkali mereka tidak diikutsertakan dalam melakukan berbagai kegiatan. Dalam bidang kesehatan, masih banyak hal yang disampingkan.
Apa himbauan Ibu kepada Negara agar orang-orang dengan disabilitas mendapatkan hak-haknya?
Sudah berkali-kali saya sampaikan bahwa yang diharapkan oleh orang dengan disabilitas bukannya ingin didahulukan tetapi mereka ingin diperlakukan sama. Oleh karenanya, mereka harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan agar kebijakan lebih ramah pada mereka. Siapa yang 100% bisa merasakan dan bisa mengerti kebutuhan mereka, kalau bukan mereka sendiri? Siapa yang mengerti kebutuhan perempuan kalau bukan perempuan sendiri? Apalagi orang-orang yang dipandang tidak sempurna, siapa yang bisa merasakan ketidaksempurnaan, hanyalah mereka. Jadi keberadaan mereka dalam mengambil keputusan itu sangat penting.
Adakah nilai-nilai dalam ajaran Islam yang mendorong pemenuhan hak-hak orang dengan disabilitas?
Ajaran Rasulullah sangat banyak memberikan contoh. Sahabat Nabi yang bernama Ibnu Masud adalah orang yang ‘cacat’ pada kakinya, otomatis dia berjalan tidak secepat orang-orang ‘normal’. Suatu hari dia datang untuk menghadiri ceramah Nabi, akan tetapi dia terlambat padahal dia sudah berangkat pagi-pagi karena tidak bisa berjalan dengan cepat. Sehingga dengan rela dia harus duduk di belakang. Melihat ketekunan, kesungguhan dan kegigihannya, Rasulullah akhirnya mendapatkan perintah dalam surat Al Mujadilah ayat 11 untuk mengajak umatnya berlapang-lapang di dalam Majelis. Ayat “Yaa ayyuhalladziina aamanuu idza qiila lakum tafassahu fil majaalisi faf sahu yafsahillaahulakum, waidzaaqiilan syuzuu fansyuzu yarfa’illahu ladziina aamanuu minkum,walladzina uutul ‘ilma darjaatin,wallahu bimaa ta’ maluna khabiir” (yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepada mu berlapang-lapanglah pada majlis-majlis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan melapangkan bagi kamu. Dan jika dikatakan kepada kamu “Berdirilah !”, maka berdirilah. Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang~orang yang diberi ilmu beberapa derajat; Dan Allah dengan apapun yang kamu kerjakan adalah Maha Mengetahui”).
Itu sebenarnya juga respon pada saat Nabi memerintahkan kepada sahabat untuk memberikan jalan bagi Ibnu Masud ketika dia terlambat datang, agar bisa duduk di depan. Itu menunjukkan Islam itu sangat menghormati orang-orang seperti itu. Juga kisah tentang Ibnu Ummi Maktum, sahabat Nabi yang tuna netra yang datang kepada Nabi untuk diajarkan ilmu-ilmu agama. Saat itu, karena Rasulullah sedang sibuk dengan para sahabat lainnya sehingga beliau memalingkan muka dan mengacuhkannya. Nabi langsung mendapatkan teguran oleh Allah swt. melalui malaikat Jibril yang kisah mengenai hal ini menjadi dasar bagai diturunkannya Surah Abasa. Di Al Azhar, Kairo juga banyak Tuna Netra yang bahkan menjadi profesor. Artinya orang yang ‘cacat’ itu bukan berarti mereka itu juga kurang pintar. Contohnya, Bapak (Gus Dur) sajalah, matanya tidak bisa melihat tapi hatinya bisa melihat. Banyak orang yang matanya bisa melihat tapi hatinya tidak bisa melihat.
Bagaimana caranya agar nilai-nilai yang menghargai orang-orang disabilitas dihargai dan menjadi kesadaran masyarakat.
Itu menjadi tanggung jawab kita bersama. Bagi kaum mubaligh, kaum ustadz-ustadzah yang selalu berceramah sebaiknya mulai memberikan pencerahan mengenai hal itu kepada umat. Selama ini mereka tidak pernah menyinggung hal itu.
Secara struktural penyandang disabilitas perlu berpartisipasi dan dilibatkan dalam berbagai bidang kebijakan. Sedangkan, secara kultural wacana tentang disabilitas perlu dibahas dalam kajian-kajian di majelis taklim.
Dalam hal kerukunan antar warga penyandang disabilitas juga harus dilibatkan. Dan masyarakat hendaklah menghormati orang-orang dengan disabilitas, karena mereka bisa jadi jauh lebih pintar dari pada orang-orang yang ‘normal’. Dan buktinya sudah cukup banyak.
Banyak kemajuan yang membuat orang-orang dengan disabilitas bisa berpartisipasi dalam berbagai kehidupan. Huruf Braille, membuat mereka bisa banyak belajar dan mengikuti berbagai kegiatan di masyarakat. Seperti membaca, ikut Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), olahraga catur dan lain-lain. Masih banyak hal yang memungkinkan dilakukan oleh orang-orang dengan disabilitas. Bagi mereka yang mengalami disabilitas karena kecelakaan, seharusnya mereka diperlakukan sama seperti mereka yang ‘normal’. Bagi orang tua yang memiliki anak yang mengalami disabilitas sejak ia lahir, hendaknya ia bisa melatih anaknya untuk hidup secara mandiri. Insyaallah, mereka bisa. {} AD. Kusumaningtyas