Demikianlah, pandangan para ahli Islam terkemuka tentang kesehatan dalam Islam. Meski demikian tegas dan lugasnya Islam memberikan apresiasi terhadap kesehatan manusia, namun terdapat sejumlah masalah partikular yang masih perlu dikaji kembali berkaitan dengan konteks kesehatan dewasa ini. Beberapa di antaranya adalah hak menolak dan menikmati hubungan seks, HIV/AIDS, hak memperoleh informasi kesehatan reproduksi, khitan perempuan, aborsi, dan poligami.
Beberapa masalah tersebut merupakan isu-isu yang sangat berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Hak menolak dan menikmati hubungan seks, misalnya, terkait langsung dengan kesehatan istri. Kewajiban perempuan menyerahkan tubuhnya kepada suami tanpa bisa menolak mengakibatkan perempuan (istri) tidak bisa mengontrol atau mengatur sendiri hak-hak reproduksinya. Ketidakberdayaan perempuan menolak hasrat seksual laki-laki (suami) dapat menimbulkan akibat- akibat yang kurang baik bagi kesehatan reproduksi. Sejauh ini, pandangan tentang kewajiban istri tersebut selain dilatarbelakangi oleh tradisi, kerap dilatarbelakangi pula oleh pandangan agama. Penolakan istri, oleh perspektif keagamaan tertentu, akan dicap sebagai tindakan kedurhakaan. Padahal, agama menekankan perlunya mu’asyarah bi al-Ma’ruf (saling berinteraksi secara baik) antara suami dan istri. Agama juga menekankan agar suami-istri membangun kehidupan bersama dalam situasi yang diliputi ketenangan dan cinta kasih (sakinah mawaddah wa rahmah). Cita-cita perkawinan ini sulit terwujud tanpa relasi suami-istri yang saling memahami, menghargai, dan menjaga eksistensi masing-masing. Sikap saling menghargai dan memahami antara suami-istri pada gilirannya akan berdampak positif pada kesehatan reproduksi sang istri. Kesehatan reproduksi hanya dapat terjaga manakala relasi seksual dilakukan dalam kondisi yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi kedua belah pihak.
Kesehatan reproduksi juga terkait dengan hak kehamilan. Kehamilan, menurut Alquran, merupakan proses reproduksi yang sangat berat, wahnan ‘ala wahnin (kelemahan yang berganda {Q.S. Luqman: 14}); kurhan (sesuatu yang sangat berat) {Q.S. al Ahqaf: 15}. Alquran dalam kaitan ini meminta umat Islam untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap proses kehamilan ini. Semangat tuntutan Alquran tersebut tidak hanya ditujukan kepada anak-anak untuk berlaku hormat kepada ibu, namun juga suami dan orang lain (masyarakat luas) dalam memperlakukan perempuan yang hamil dengan penuh perhatian. Karena setiap orang adalah anak dari seorang ibu. Terdapat banyak fakta tentang kematian ibu melahirkan yang disebabkan oleh komplikasi- komplikasi kehamilan yang terjadi dalam proses melahirkan. Secara teknis, perhatian tersebut berhubungan dengan beban kerja yang berat dan pelayanan yang buruk kesehatan fisiknya. Perempuan yang sedang hamil sangat dianjurkan untuk tidak dibebani kerja-kerja berat dan melelahkan.
Secara konseptual, perhatian tersebut berkaitan dengan hak istri untuk tidak hamil. Sudah dimaklumi bersama bahwa perempuan adalah pemilik utama rahim, tempat cikal bakal (embrio) manusia dikandung dan dipelihara untuk masa yang cukup lama. Para ibu adalah orang yang paling memahami mengenai apa yang dirasa ketika rahimnya mengalami perkembangan hari demi hari dan bulan demi bulan. Suara dan pilihan mereka dalam hal ini lebih dapat dipercaya dan karena itu harus lebih didengar oleh laki-laki (suami). Oleh karena itu, suami atau yang lain seharusnya mendengarkan sekaligus mempercayai pendapat dan perasaannya. Islam sesungguhnya juga sudah memberikan petunjuk agar kehamilan dapat diatur. Alquran menyatakan bahwa proses kehamilan diatur minimal tiga tahun sekali. Semangat yang ingin ditunjukkan Alquran tidak lain adalah dalam rangka kesehatan manusia dan untuk menghasilkan generasi yang sehat secara fisik maupun mental.
Atas dasar ini intervensi negara melalui undang-undang dan kebijakan pemerintah tentang Keluarga Berencana (KB) perlu untuk kembali diaktualisasikan. Visi yang harus ditegakkan dalam hal ini adalah visi kesehatan dan bukan visi politik demografis. Artinya, KB tidak boleh dikaitkan untuk membatasi jumlah anak, melainkan dalam rangka melahirkan generasi yang sehat, kuat dan bertakwa. Terkait dengan perkembangan teknologi modern, alat-alat kontrasepsi yang semestinya disediakan negara tidak hanya melulu diperuntukkan untuk perempuan, melainkan juga tersedia untuk laki-laki. Karenanya, pemerintah semestinya sudah dapat memperbarui teknologi alat kotrasepsi bagi laki-laki (selain kondom), sekaligus mensosialisasikannya.
HIV/AIDS adalah problem lain yang semakin mengkhawatirkan terhadap kesehatan manusia. Banyak data kuantitatif yang menyebutkan jumlah pengidap virus HIV/AIDS di Indonesia yang semakin hari semakin menunjukkan peningkatan. Dalam banyak pandangan kaum muslimin, persoalan HIV/ AIDS seringkali dinyatakan sebagai hukuman atau kutukan Tuhan atas para pendurhaka kepada-Nya, karena tidak mengikuti petunjuk-petunjuk Tuhan. HIV/AIDS seringkali hanya dilihat sebagai akibat dari hubungan seksual yang haram, baik karena tidak melalui perkawinan yang sah maupun karena hubungan homoseksual. Namun faktanya, tidak sedikit pula mereka yang terinfeksi virus HIV ini merupakan orang baik-baik. Bahkan terkadang, beberapa perempuan yang terinfeksi virus ini adalah perempuan “baik-baik”, ibu-ibu rumah tangga, dan bahkan anak-anak yang tidak berdosa. Dengan kata lain, penularan HIV/AIDS bisa juga terjadi melalui hubungan seks yang halal, yang ditularkan melalui virus yang dibawa oleh pasangannya. Virus ini juga bisa menular melalui transfusi darah. Apakah dengan dua alasan terakhir ini mereka juga dapat dikatakan mendapat kutukan Tuhan?
Masalah HIV/AIDS boleh jadi lebih tepat disebut sebagai cobaan, ujian yang buruk, atau peringatan Tuhan kepada manusia. Terhadap cobaan buruk ini, Tuhan memperingatkan agar semua orang waspada dan berhati-hati, serta menghindari perbuatan yang dilarang Tuhan. Alquran menyatakan:
Berhati-hati lah dan jaga lah diri kalian dari sebuah “fitnah” (cobaan buruk) yang tidak hanya menimpa mereka yang melakukan kezaliman. (Q.S. al-Anfal: 25).
Ini merupakan perintah Tuhan agar menghindari semua perbuatan dan lingkungan sosial yang buruk. HIV/AIDS dengan begitu, selain berhubungan dengan masalah medis dan kesehatan fisik, juga merupakan masalah sosial. Oleh karena itu, harus ada tindakan-tindakan pencegahan secara sosial. Saya sepakat bahwa salah satu cara untuk menghindarinya adalah dengan menghindari hubungan seks yang tidak halal dan tidak sehat.
Para ahli kesehatan menyebutkan bahwa dibanding laki-laki, resiko terkena HIV/AIDS pada perempuan jauh lebih besar, terutama apabila hubungan seks dilakukan tanpa memakai kondom. Hal ini disebabkan luasnya jaringan mukosa dan konsentrasi virus HIV dalam sperma. Kerentanan lebih tinggi terjadi pada perempuan remaja. Dalam konteks penyebaran HIV/AIDS melalui prostitusi, stigmatisasi negatif sering lebih ditujukan kepada kelompok rentan ini (perempuan). Jarang sekali terlintas dalam pikiran orang tentang keterlibatan kaum laki-laki dalam penyebarannya. Dalam struktur budaya patriarkhi, perempuan justru merupakan pihak yang tidak berdaya dalam menghadapi tuntutan biologis laki-laki. Padahal di sisi yang lain, perempuan juga harus menanggung beban ganda: posisi rentan dan stigma negatif. Tidak banyak orang yang sensitif terhadap persoalan ini. Padahal, ini merupakan salah satu bentuk ketidakadilan, dan karena itu perlu diluruskan.
Aborsi adalah isu partikular lain yang terus menjadi problem kesehatan serius bagi perempuan. Dewasa ini, semakin nyata fakta bahwa banyak perempuan yang tidak menghendaki kehamilan dan mempunyai anak terpaksa melakukan aborsi. Memang, ada banyak faktor yang melatarbela- kanginya. Beberapa di antaranya terjadi akibat hubungan seks tanpa nikah dan akibat perkosaan. Fakta lain menunjukkan bahwa aborsi kadang dilakukan akibat kegagalan kontrasepsi. Kasus yang disebut terakhir, menurut beberapa laporan peneli- tian lapangan, justru merupakan faktor penyebab yang paling banyak dibanding yang pertama (akibat hubungan seks pra nikah dan perkosaan). Dalam kasus ini, aborsi banyak dilakukan oleh perempuan yang mempunyai suami. Budi Utomo, dkk., misalnya, menemukan bahwa permintaan aborsi oleh perem- puan yang bersuami mencapai angka sangat tinggi, yaitu 95 % dari total perempuan yang melakukan aborsi. Sisanya dilakukan oleh mereka yang tidak menikah. Mungkin ada temuan lain yang berbeda dan lebih rendah dari ini, namun tetap saja hasilnya memperlihatkan bahwa aborsi dalam pernikahan jumlahnya jauh lebih besar daripada aborsi di luar pernikahan. (YLKI, Forum Kesehatan Perempuan dan Ford Foundation, Perempuan dan Hak Kesehatan Reproduksi, 2002).
Dari perspektif Islam, isu ini sudah sangat lama mendapat perhatian para ulama. Pada prinsipnya aborsi memang haram dilakukan. Namun, ada sekian hal dan situasi tertentu yang memaksa perempuan melakukan aborsi. Dalam hal inilah para ulama kemudian mendiskusikannya. Mereka sepakat bahwa aborsi dapat dilakukan pada usia janin sampai 42 hari (8 minggu). Perdebatan di antara ulama terkait aborsi adalah pada aborsi yang dilakukan pada usia di atasnya (43 hari) sampai dengan 120 hari. Perdebatan ini terjadi, karena tidak adanya teks agama yang menegaskan hukumnya secara pasti (qath’iy). Karenanya, persoalan aborsi adalah wilayah ilmiyah (ijtihadiy). Keharaman aborsi yang telah disepakati para ulama berlaku bagi usia kehamilan di atas 120 hari.
Meski demikian, para ulama berbulat sepakat menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan kapan saja sepanjang proses kehamilan hingga kelahiran dapat mengancam keselamatan nyawa ibu. Dalam pandangan para ulama, dalam kondisi darurat tersebut, nyawa ibu jauh lebih penting dibanding keselamatan nyawa janin. Kaedah yang dipergunakan adalah “Idza ta’aradh al-Mafsadatani ru’iya a’zhamuhuma dhararan bi irtikab akhaffi- hima,” (jika ada dua ancaman yang membahaya- kan, maka selamatkan yang memiliki dampak bahaya yang paling besar, dengan mengorbankan yang dampaknya lebih ringan). Terkait hal tersebut, para ulama sepakat pula bahwa proses aborsi darurat harus dilakukan paling tidak melalui dua syarat. Pertama, bahwa keadaan darurat tersebut harus berdasarkan analisis dan rekomendasi para ahli (dokter). Kedua, harus ditangani tenaga medis yang berpengalaman dan diakui pemerintah.
Dari keterangan di atas, persoalan aborsi perlu dipahami bukan semata-mata terkait pada soal hukum boleh atau tidak boleh tindakan itu dilakukan. Aborsi juga dilakukan bukan karena suatu alasan tertentu, melainkan berkaitan dengan hal lain yang lebih prinsip, yaitu soal kematian atau nyawa perempuan (ibu). Ibu adalah asal kehidupan. Di pundaknya terdapat sejumlah kewajiban terhadap orang lain yang masih hidup. Dalam kondisi darurat, ibu wajib diselamatkan. Pemikiran ini seharusnya menjadi dasar pertimbangan keputusan hukum untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah tindakan aborsi.
Aborsi juga dapat dilakukan terhadap janin yang cacat berat dan sulit diobati. Dr. Ahmad Syauqi Ibrahim, anggota Dewan Riset Islam Universitas al Azhar, menyatakan bahwa menggugurkan janin yang cacat berat adalah dimungkinkan (boleh), sesudah mendapat rekomendasi dari seorang ahli dan mendapat persetujuan orang tua. Sementara untuk kasus aborsi akibat perkosaan, MUI (Majelis Ulama Indonesia) sudah memutuskan fatwa boleh. Mengingat, peristiwa perkosaan menimbulkan trauma dan beban psikologis yang sangat berat. Meskipun demikian, bila si ibu memilih untuk tetap meneruskan kehamilannya dan tidak melakukan aborsi, pilihan tersebut patut diapresiasi. Biarkan bayi berkembang hidup dan dilahirkan. Dan masyarakat hendaknya juga tidak menstigmatisasi negatif, baik terhadap ibu maupun anaknya.
Meskipun undang-undang telah melarang tindakan aborsi, akan tetapi dalam kenyataannya bisa saja dilakukan orang dengan segenap cara dan berbagai jalan, legal maupun ilegal. Melarang aborsi tanpa kompromi tidak selalu bisa menghentikan praktik aborsi. Banyak temuan lapangan yang menunjukkan bahwa tidak sedikit perempuan hamil melakukan aborsi secara tidak aman, tanpa sepengetahuan dokter ahli dan tanpa mempertimbangkan akibat buruk yang akan muncul di kemudian hari. Ini adalah aborsi ilegal. Dalam banyak kasus, praktik aborsi tidak aman pada gilirannya seringkali membahayakan bagi keselamatan hidup perempuan. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan berlangsung berlarut-larut tanpa ada jalan keluar dan tanpa perlindungan hukum.
Karena itu sudah saatnya dipikirkan sebuah kemungkinan dibukanya ruang bagi aborsi aman (safe abortion), dengan sejumlah ketentuan yang diperlukan sebagaimana yang sudah dikemukakan. Terbukanya ruang aborsi aman, tidak serta merta dicurigai apalagi dituduh sebagai membuka kesempatan bagi berkembangnya praktik-praktik prostitusi. Tidak ada hubungan sebab akibat antara aborsi dengan prostitusi atau perzinahan secara langsung. Perzinahan lebih berkaitan dengan sikap dan komitmen moral individu. Pengalaman Turki menunjukkan bahwa legalisasi aborsi aman, disamping mengurangi angka kematian ibu, justru mengurangi angka tindakan aborsi.
Khitan Perempuan juga merupakan masalah yang mempengaruhi kesehatan perempuan. Sejak lama para ulama telah membahas dan memperdebatkan masalah ini. Kesimpulannya, mereka berbeda pendapat: wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram. Perbedaan kesimpulan ini lagi- lagi dikarenakan bahwa Alquran maupun hadis Nabi tidak menegaskan hukumnya secara pasti (qath’iy), sebagaimana pada khitan laki-laki. Nabi saw. hanya menyebutnya sebagai “kehormatan” bagi perempuan. Kata “kehormatan” mengindikasikan bahwa khitan perempuan lebih sebagai akomodasi atas tradisi yang sedang berlangsung saat itu.
Adalah menarik bahwa pada tanggal 24 Juni 2007 lalu, mufti Mesir, Dr. Ali Jum’ah menegaskan bahwa khitan perempuan dilarang. Fatwa ini juga sebelumnya dikemukakan oleh Grand Syeikh Univesitas Al Azhar, Sayid Muhammad Thanthawi. Beliau kemudian menyatakan bahwa hal ini perlu diserahkan para ahli medis untuk menentukan manfaat atau mudaratnya (bahayanya).
Akhirnya Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa agama (Islam) benar-benar menaruh perhatian yang besar terhadap kesehatan dalam arti umum dan kesehatan reproduksi secara khusus. Kesehatan adalah sarana (wasilah) bagi ibadah kepada Tuhan dalam arti yang luas. Ibadah tidak bisa dilaksanakan tanpa manusia yang sehat. Agama pada sisi lain berfungsi memberikan nilai- nilai moral yang luhur; kesejahteraan, kemaslahatan, keadilan, tidak menderitakan dan merugikan diri sendiri atau orang lain. Operasionalisasi nilai-nilai ini dan mekanismenya diserahkan kepada para ahlinya. Nabi Muhammad saw. menyatakan, “Idza wussida al-Amr ila ghair ahlihi fantazhir al-Sa’ah,” (Jika suatu perkara diserahkan penyelesaiannya kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kerusakannya).
Dalam arti ini, maka perumusan diktum-diktum hukum, termasuk untuk menjustifikasi soal-soal kemasyarakatan (mu’amalah) termasuk kesehatan, nilai-nilai moral tersebut harus menjadi dasar dan standar. Dan untuk ini para ahli agama memerlukan kerjasama dengan para ahli ilmu-ilmu sosial guna mendapatkan fakta-fakta empiris dan pengalaman kedokteran atau medis. Fakta-fakta empiris dan realitas sosial adalah basis utama bagi perumusan konsep-konsep, regulasi-regulasi, dan kebijakan-kebijakan publik.
Pada masa peradaban Islam awal, kenyataan- kenyataan empiris dan tradisi lokal menjadi basis bagi keputusan-keputusan fikih. Imam Syafi’i, adalah pelopor penggunaan metodologi penelitian empiris ini, sebagai salah satu sumber atau dasar dalam penetapan hukum. Metodologi ini bisa dilihat misalnya, saat Imam Syafi’i menentukan batasan-batasan haid (menstuasi). Metode ini dikenal dengan sebutan Istiqra’. Para ulama mengatakan, “al-Haqiqah fi al-A’yan wa al- Musyahadah La fi al-Zhan wa al-Takhmin,” (Kebenaran ada dalam kenyataan bukan dalam dugaan). Basis analisis ilmiyah ini dalam kurun waktu yang panjang telah hilang dari kesadaran sebagian besar masyarakat muslim. Boleh jadi inilah sebabnya mengapa mereka tertinggal dari proses kemajuan. Hal ini berarti bahwa fatwa hukum agama yang akan diputuskan para ulama semestinya perlu mendengarkan pendapat dan pandangan para ahli terkait. Fatwa juga harus menghasilkan solusi bukan sekedar menjustifikasi atas dasar teks keagamaan.
Akhirnya, undang-undang kesehatan ataupun peraturan pemerintah lainnya dengan itu harus mengakomodasi temuan-temuan baru dari para ahli dan peneliti kesehatan. Kewajiban pemerintah menurut Islam adalah membuat kebijakan yang mensejahterakan rakyatnya, sesuai dengan kaedah hukum Islam, “Tasharrauf al-Imam ‘ala al-Ra’iyyah manuthun bi al-Mashlahah,” (Kepemimpinan pemerintah terhadap rakyatnya berdasar pada kesejahteraan).
Baca Juga:
Tafsir Alquran 1: Islam dan Kesehatan Reproduksi