Oleh: Dinah Muhiddin
Kikan, anak gadis ceria yang mudah bergaul. Ketika berusia 10 tahun dan duduk di kelas 4 SD, payudaranya mulai tumbuh, dari yang sebelumnya datar kini mulai berisi dan agak maju. Kikan heran melihat dirinya yang mulai berbeda. Teringat tantenya ketika menyusui bayi, “berarti payudaraku juga akan tumbuh seperti tante,” gumamnya dalam hati.
Sepulang sekolah, Kikan menceritakan perubahan itu pada ibunya, “Mah, payudara Kikan membesar. Teman-teman bilang kalau payudara sudah tumbuh Kikan sudah gakboleh pakai kaus dalam lagi. Kikan harus pakai miniset.” Mamanya terbelalak, “Kamu ini gimana sih, baru kelas 4 SD kok payudaramu sudah tumbuh. Kecil-kecil sudah genit. Ini pasti gara-gara kamu sering bergaul dengan anak laki-laki, sampai bikin kamu jadi kecentilan!”
Kesal dengan respon ibunya, Kikan nyeletuk, “Mama gak nyambung!” Di kamar, Kikan menangis tersedu- sedu karena merasa dituduh yang bukan-bukan, genit dan centil. Kikan tidak terima dengan apa yang dikatakan ibunya. “Payudara ini kan tumbuh sendiri. Mana kutahu apa yang membuat dia membesar?”, Kikan bingung sambil tetap kesal karena dibilang genit dengan anak laki-laki.
Sebelum berangkat sekolah, ibunya berpesan, “Kan, awas ya jangan bergaul dengan anak laki-laki lagi, ga boleh genit-genit! Kamu sih suka bandel ga denger yang Mama bilang. Tuh, Tuhan menghukum kamu, jadi payudaramu sudah tumbuh, padahal masih anak-anak.” Kikan bertambah kesal dan bingung,
“Apalagi ini? Hukuman Tuhan karena aku genit?” Kikan berangkat ke sekolah dengan pertanyaan-pertanyaan yang kian bertambah, karena genit dengan anak laki- laki dan Tuhan menghukumnya dengan payudara yang membesar. “Apa iya begitu? Rasanya tidak begitu?”, ragu Kikan dalam hati.
Nenek yang sudah diberitahu ibunya tentang perubahan pada tubuh Kikan pun berperilaku yang sama. Sambil berbisik, nenek menasehati Kikan sama persis dengan nasehat ibunya. Kikan menjawab, “Genit apanya sih, Nek? Aku ga pernah godai laki-laki kok?” Sambil mengusap-ngusap kepala Kikan nenek melanjutkan, “Kamu tersenyum pada anak laki-laki pun sudah genit namanya apalagi kalau ngobrol-ngobrol, berdekat-dekatan. Nanti payudaramu itu akan nenek obati.”
Bertambah heran Kikan bergumam, “Mengapa anak perempuan tersenyum dibilang genit sedangkan anak laki-laki tidak? Payudaranya akan diobati? Memang payudara membesar itu penyakit?”
Disaat lelap tidur siang tiba-tiba nenek memukuli payudara Kikan dengan centong nasi dari kayu sambil membaca shalawat. Kikan menangis. Selain karena sakit ia juga kesal karena tidurnya diganggu. Mendengar Kikan menangis dan meronta, nenek lalu bilang, “Sudah jangan nangis! Baluri payudaramu dengan ini, biar payudaramu tidak tambah besar lagi.” Rupanya nenek memberi Kikan ramuan seperti tepung yang ternyata air ragi.
Kikan merasa ada yang yang tidak benar.“Kenapa anak perempuan banyak dibatasi sedangkan laki-laki tidak? Kenapa tubuh perempuan menjadi masalah dan harus dihambat pertumbuhannya? Padahal, semua itu pemberian Tuhan. Tuhan yang diyakininya mustahil bersikap tidak adil pada perempuan. Ini semua harus dihentikan!”, ujar Kikan lirih dalam hati.