Oleh: Imam Nakha’i

Dalam lembaran kitab-kitab tafsir, banyak dikutip perempuan berani yang menolak kekerasan dan kedhaliman terhadap perempuan. Dan seringkali keberatan perempuan itu menjadi  penyebab turunnya  (sabab an-nuzul) ayat-ayat al-Qur’an.

Yang menarik dicermati adalah mengapa perempuan-perempuan di zaman Nabi berani mengadukan dan melaporkan kekerasan yang dialaminya. Apakah karena mereka telah cukup lama mengalaminya, sehingga sudah saatnya untuk bersuara? ataukah karena perempuan-perempuan itu melihat dan menyakini bahwa pengaduannya pasti mendapatkan “hak kebenaran dan keadilan” dari Rasulullah Muhammad saw? jawabannya bisa kedua-keduanya.

Memang, pada masa Nabi, selain proses hukum begitu sederhana, singkat, tidak membutuhkan biaya besar, Nabi Muhammad sebagai Rasululah yang membawa misi rahmatan lil alamin juga menjadi jaminan bahwa korban pelapor akan menemukan kebenaran dan keadilan yang dicarinya.   Mungkin tidak seperti sekarang, proses hukum rumit, menghabiskan waktu lama, kadang biaya mahal, dan belum pasti menemukan kebenaran dan keadilan, kalau tidak sebaliknya justru mendapat streotipe dan blaming the victim-kriminalisasi.

Selain perempuan yang tersebut dalam posting sebelumnya, banyak perempuan di zaman Nabi yang berani melaporkan ketidakadilan atasnya, antara lain:

 

6. Habibah Bintu Zaid. Ia mengadukan kekerasan yang dilakukan suaminya kepada Raulullah. Ya Rasulullah, suamiku menempelengku, ucapnya. Rasulullah bersabda “balaslah ia-qishas ia”. Mendengar sabda Nabi agar ia membalas, Habibah dan ayahnya bergegas pulang untuk membalas perlakuan suaminya. Belum jauh beranjak, Rasulullah kembali memanggil Habibah dan ayahnya, kembali-kembali dulu, ada apa ya Rasulullah? Rasulullah bersabada “baru saja Jibril datang membawa Wahyu – ar-Rijalu Qawwamuna ala an-Nisa”. Keinginanku dan keinginan Allah berbeda, aku menyuruhmu membalas, tapi Allah menginginkan yang lain yang lebih bijaksana, dan keinginan Allah pasti lebih baik, sabda Nabi. Seandainya terjadi pembalasan, sementara budaya patriarki masih kuat, maka bisa dibayangkan apa yang terjadi dalam rumah tangga Habibah dan suaminya.

Saya menyakininya bahwa Nabi tidak mungkin membiarkan prilaku suami yang suka memukul, melainkan pasti mencegahnya dengan kebijaksanaannya.

Menurut ahli tafsir, akibat keberanian Habibah mengadukan kekerasan yang dialaminya, turun 2 ayat sekaligus, yaitu surat Thaha ; 114 dan an-Nisa ;34. Bahkan ayat an-Nisa’ ayat 34 ini turun bebrapa kali yang menunjukkan bahwa pasca pelaporan Habibah, disusul oleh pelaporan perempuan lain, Jamilah bintu Ubay dan Umairah bintu Muhammad.

 

7. Ummu Salamah. Ummu Salamah adalah perempuan pertama yang turut serta hijrah ke Madinah. Beliau menyampaikan kegelisahannya kepada Nabi, mengapa yang berperang (dan mendapatkan syahadah dan ghanimah) hanya laki-laki? Kenapa kami kaum perempuan hanya mendapatkan bagian warist setengah bagian laki-laki dan bahkan sebelumnya tidak mendapatkan apapun? Di saat yang sama, laki-laki merasa unggul dengan berharap bahwa di ahirat pun nanti mereka berharap mendapatkan lebih banyak dari perempuan.   Mendengarkan pengaduan Ummu Salamah, maka turunlah ayat  an-Nisa 32, yang menegaskan bahwa laki-laki akan mendapatkan apa yang telah diusahakannya, sama halnya perempuan akan mendapatkan apa yang telah mereka usahakan. Jangan beriri hati, bermohonlah karunia hanya dari Allah jangan dari yang lain, termasuk dari suami.

 

8. Fatatun (Gadis yang tidak disebut namanya- kayak orang sedekah di masjid yang tidak mau disebut nama tapi diceritakan pada kawan-kawan disampingnya-hamba Allah itu saya loo). Gadis ini terhitung sangat berani. Ia mengadukan kepada Rasulullah perjodohan secara paksa yang dilakukan orang tuaanya . Mendengar pengaduannya, Rasulullah menyerahkan sepenuhnya keputusan pada sang Gadis ini, apakah ia akan melanjutkan atau membatalkan perkawinan yang telah dilakukannya. Di ahir pengaduannya ia menyampaikan pilihannya kepada Nabi “ya Rusulullah, sesungguhnya saya menyetujui perjodohan yang dilakukan oleh ayah saya”. Terus? hanya saja ;

وَلَكِنْ أَرَدْتُ  أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ لِلْآبَاءِ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ

……saya ingin agar para perempuan mengetahui bahwa para ayah tidak punya hak apapun unuk memperlakukan sewenang-wenang pada putrinya.

Menurut cara pandang saya sekarang, apa yang dikatakan oleh perempuan ini, apa lagi dihadapan Nabi, terhitung tindakan yang berani. Namun Rasulullah dengan segala kebijaksanaan tingkat tingginya selalu memberika solusi yang benar dan adil.

 

  1. Perempuan yang tersebut dalam Hadist Riwayat Abu Dawud;

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ، حَدَّثَنَا الْفِّرْيَابِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، حَدَّثَنَا سِمَاكُ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ امْرَأَةً خَرَجَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُرِيدُ الصَّلَاةَ، فَتَلَقَّاهَا رَجُلٌ، فَتَجَلَّلَهَا، فَقَضَى حَاجَتَهُ مِنْهَا، فَصَاحَتْ، وَانْطَلَقَ، فَمَرَّ عَلَيْهَا رَجُلٌ، فَقَالَتْ: إِنَّ ذَاكَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا، وَمَرَّتْ عِصَابَةٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ، فَقَالَتْ: إِنَّ ذَلِكَ الرَّجُلَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا، فَانْطَلَقُوا، فَأَخَذُوا الرَّجُلَ الَّذِي ظَنَّتْ أَنَّهُ وَقَعَ عَلَيْهَا، فَأَتَوْهَا بِهِ، فَقَالَتْ: نَعَمْ هُوَ هَذَا، فَأَتَوْا بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَمَرَ بِهِ قَامَ صَاحِبُهَا الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَا صَاحِبُهَا، فَقَالَ لَهَا «اذْهَبِي فَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكِ وَقَالَ لِلرَّجُلِ قَوْلًا حَسَنًا»، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: «يَعْنِي الرَّجُلَ الْمَأْخُوذَ»، وَقَالَ لِلرَّجُلِ الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا: «ارْجُمُوهُ»، فَقَالَ: «لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا أَهْلُ الْمَدِينَةِ لَقُبِلَ مِنْهُمْ»

artinya: Suatu Malam, ada seorang perempuan shalihah keluar rumah untuk shalat. Lalu dihadang dan ditindih laki-laki dan diperkosanya. Lepas dari sekapannya, ia berteriak, dan pelakupun lari. Datang seorang laki-laki yang ingin menolongnya. Karena malam gelap, perempuan korban itu menduga bahwa laki-laki ini adalah pelakunya. Di saat bersamaan datang sekelompok kaum Anshar dan kemudian menagkap laki-laki yang ingin menolong ini. dihadapkanlah kepada Rasulullah. Ketika laki-laki penolong hendak dirajam, datanglaah pelaku sesungguhnya, dan mengaku bahwa ia pelakunya. Rasulpun bersabda kepada perempuan korban itu, pulanglah Allah telah mengampunimu. Dan kepada laki-laki penolong, rasul bersabda dengan lembut,  pergilah.  Kemudian Rasul pun meghukum pelaku sesungghunya.

Certia dalam hadist ini menegaskan bahwa siapapun berpotensi mengalami kekerasan seksual, sekalipun perempuan shalihah ahli ibadah sekalipun. Kedua Rasulullah pasti tidak memberikan hukuman pada korban perkosaan, bahkan dalam hadist lain, perempuan korban perkosaan dipulihkan nama baiknya, dan diberikan restitusi (ganti rugi). Pelaku kekerasan mendapatkan hukuman yang setimpal kejahatannya.

Masih banyak hadist senada ini, yang menggambarkan bahwa Kekerasan seksual banyak terjadi. Islam hadir untuk menghapuskannya.

 

سنن ابن ماجه (2/ 866)

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ الرَّقِّيُّ، وَأَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْوَزَّانُ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالُوا: حَدَّثَنَا مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ: أَنْبَأَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ، عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: «اسْتُكْرِهَتِ امْرَأَةٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَدَرَأَ عَنْهَا الْحَدَّ وَأَقَامَهُ عَلَى الَّذِي أَصَابَهَا، وَلَمْ يَذْكُرْ أَنَّهُ جَعَلَ لَهَا مَهْرًا»

…di masa Nabi ada perempuan diperkosa, dan Nabi tidak memberikan hukum “had”. Sebaliknya Nabi menghukum pelakunya….

Itulah sembilan perempuan yang telah berani bersuara, dan suaranya menjadi sebab lahirnya teks suci dan mengubah peradaban.  Mengapa sembilan,  ya biar diberkati bintang sembilan, NU.

Selamat hari perempuan se Dunia. Perempuan hebat, berani bersuara.

Wallahu  ‘alam

Jkt 140321

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here