Dr. Hamim Ilyas, lelaki kelahiran Klaten, 1 April 1961 ini adalah seorang pengajar sekaligus aktivis untuk keadilan perempuan. Ia memulai kiprahnya sebagai dosen di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, sejak tahun 1987 hingga sekarang. Dosen yang kini menjabat Asisten Direktur Program Pascasarjana UIN ini, juga pernah mengajar Magister Studi Kebijakan di Universitas Gajah Mada (UGM) tahun 2004. Ia aktif pula di Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pengurus Pusat Muhammadiyah. Selain itu, Hamim juga tercatat sebagai Ahli Kesehatan Reproduksi PKBI Pusat. Pemikiran-pemikirannya tentang Gender dan Islam telah banyak diterbitkan, seperti bukunya yang berjudul ”Keterlibatan Pria Muslim dalam Kesehatan Reroduksi” tahun 2006. Dalam wawancaranya bersama Swara Rahima tentang sunat (khitan) perempuan, ia mengungkapkan, bahwa sunat perempuan banyak mengganggu aspek kesehatan reproduksi baik fisik maupun psikologi perempuan. Hamim juga menegaskan, dorongan seksual perempuan tidaklah ditentukan dari disunat atau tidaknya mereka. Lalu mengapa perempuan masih saja disunat? Bagaimana pula komentar tokoh kita ini tentang sunat perempuan dalam pandangan Islam? Simak hasil wawancara berikut ini.

Bagaimana sesungguhnya asal-usul khitan atau sunat perempuan?

Asal-usul sunat perempuan tidak diketahui secara pasti dalam sejarah. Dalam tradisi Islam yang populer hanya diketahui asal-usul khitan laki-laki yang berasal dari Nabi Ibrahim as. yang melakukan khitan pada usia delapan puluh tahun.

 

Apakah sunat perempuan ini juga berasal dari Nabi Ibrahim as.?

Tidak ada informasi bahwa sunat perempuan juga berasal dari Nabi Ibrahim as. Tapi dari sejarah telah diketahui, selama ribuan tahun sunat perempuan lazim dilakukan di lembah Sungai Nil, yakni Mesir, Sudan dan Ethiopia, serta secara terbatas pada masyarakat Arab, Rusia dan Amerika Latin.

 

Apa alasan yang mendasari praktik sunat perempuan di masa-masa awal?

Menurut saya, alasan sunat perempuan pada masa-masa awal adalah moral. Di kalangan masyarakat yang mempraktikkannya ada kepercayaan, jika organ vital bagian luar (external genital) perempuan dikhitan, maka hal itu dapat menenangkan nafsu seksual dan dapat membantu perempuan untuk mudah mengendalikannya, sehingga mereka tetap dapat menjaga kehormatan dirinya sampai menikah.

 

Sebelum Islam datang, adakah praktik sunat perempuan dalam agama Yahudi dan Nasrani?

Sunat perempuan dilihat dari praktiknya yang luas sebelum Islam merupakan fenomena lintas budaya. Sebelum kedatangan Islam, sunat perempuan telah ada di kalangan umat Yahudi dan Kristen, terutama Kristen keturunan Yahudi. Mereka mempraktikkannya karena meyakini sebagai ajaran agama yang berasal dari Nabi Ibrahim as. yang dikenal sebagai Bapa Kaum Beriman.

 

Seperti apakah bentuk praktik sunat perempuan di masa Yahudi, Jahiliyah, hingga masa Nabi Muhammad saw. sendiri?

Sunat perempuan di masa lalu dilaksanakan mulai dari bentuknya yang paling ringan sampai yang ekstrim. Sunat perempuan yang paling ringan dilaksanakan dengan mengambil bagian yang sangat kecil dari pinggir labia minora (bibir kemaluan kecil). Sedangkan bentuk sunat yang ekstrim dilaksanakan dengan menghilangkan labia minora dan kelentit (klitoris), lalu menjahit pinggiran kulitnya dengan menyisakan lubang kecil saja untuk jalan air kencing dan jalan keluar-masuknya penis ketika bersenggama. Bentuk yang ekstrim ini terutama terjadi di lembah Sungai Nil, Sudan.

 

Bagaimana sebenarnya Islam di masa Rasulullah saw. memandang praktik ini?

Islam di masa Rasulullah tidak memperkenalkan praktik sunat perempuan. Ketika Nabi saw. mengetahui praktik itu ada di satu kabilah, maka Nabi berpesan pada dukun sunat perempuan bernama Ummi Rafi’ah yang selalu diminta para orang tua mengkhitan anak perempuannya, supaya melakukannya sesedikit mungkin dan tidak berlebihan.

 

Apakah sunat perempuan itu ajaran agama atau sebatas tradisi?

Sunat perempuan pada mulanya hanya merupakan tradisi masyarakat, bukan ajaran agama. Tapi ketika agama berjumpa dengan tradisi itu, maka kemudian ia memberi respon.

 

Respon agama yang mengakomodir tradisi itu kemudian menjadi agama. Ketika agama itu tersebar ke wilayah lain di luar masyarakat yang mempraktikkan sunat perempuan tersebut, maka ajaran yang semula hanya respon itu juga ikut terbawa.

 

Bagaimana dengan dasar Alquran dan Hadis tentang sunat perempuan?

Dalam Alquran tidak ada ayat yang langsung menunjuk pada khitan, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Ayat yang biasanya dijadikan landasan adalah surat An-Nahl ayat 123 yang memerintahkan Nabi Muhammad saw. mengikuti millah Ibrahim as. sebagai orang yang condong kepada kebenaran (hanif).

 

Adapun hadis yang dihubungkan dengan sunat perempuan adalah hadis-hadis yang menjelaskan bahwa fitrah itu ada lima, di antaranya adalah khitan, kewajiban mandi junub (besar) jika dua khitan (alat kelamin) bertemu, dan saran Nabi kepada Ummi Rafi’ah tersebut.

 

Bagaimana dengan perdebatan pendapat Madzahibul Arba’ah terkait hal ini?

Ada perbedaan pandangan di kalangan mazhab empat tentang sunat perempuan. Mazhab Hanafi dan Maliki berpandangan, sunat perempuan itu status hukumnya hanya mustahabb, di bawah sunah, atau direkomendasikan (dianjurkan). Sedang mazhab Syafi’i berpandangan, sunat perempuan itu wajib. Adapun dalam mazhab Hanbali, ada yang menyatakan wajib dan ada yang menyatakan tidak wajib (Ibnu Qudamah).

 

Apa alasan yang melandasi masing-masing golongan dari mazhab tersebut? 

Alasan yang digunakan mazhab-mazhab itu adalah alasan-alasan yang berhubungan dengan hadis. Mazhab yang berpandangan tiga hadis di atas tidak menunjukkan kewajiban, maka menyatakan sunat perempuan tidak wajib. Sebaliknya mazhab atau ulama yang berpandangan hadis-hadis itu menunjukkan kewajiban, maka menyatakan sunat perempuan wajib hukumnya.

 

Di Indonesia sendiri, bagaimana asal-usul sunat perempuan di kalangan muslim?

Mazhab yang dominan di Indonesia adalah Syafi’i. Sebab itu asal-usul sunat perempuan di kalangan muslim Indonesia adalah ajaran mazhab Syafi’i yang mewajibkan sunat perempuan.

 

Adakah dalam praktik sunat perempuan ini, alasan-alasan dari aspek ekonomi atau persoalan dominasi ’tafsir laki-laki’ atas perempuan?

Dilihat dari mazhab yang dominan, tidak ada pertimbangan ekonomi dalam praktik sunat perempuan di Indonesia. Praktik itu murni agama, tapi tidak tertutup kemungkinan adanya pertimbangan ekonomi dari yang mempraktikkan, khususnya pemberi jasa sunat perempuan yang bisa jadi memperoleh keuntungan ekonomi dari jasa sunat yang dilakukannya.

 

Menurut saya, fiqh dikembangkan dari dalil-dalil terperinci dalam Alquran dan hadis. Siapapun, laki-laki atau perempuan, kalau berpandangan hadis-hadis di atas merupakan dalil wajibnya sunat perempuan, pasti mereka berpendapat sunat perempuan itu wajib. Jadi persoalan dalam fiqh ini adalah epistemologi, bukan gender.

 

Mengapa di Indonesia ada nuansa Islamlah yang mengajarkan sunat perempuan ini?

Di Indonesia, Islam merupakan agama yang dianut mayoritas penduduknya. Berhubung yang dominan adalah mazhab Syafi’i yang mewajibkan sunat sehingga umumnya mereka mempraktikkannya, maka wajar jika ada kesan sunat perempuan itu identik dengan Islam. Tapi sebenarnya tidak seperti itu. Dilihat dari praktik sunat perempuan di Indonesia, ia tidak diajarkan Islam saja, tapi juga oleh budaya-budaya etnis atau suku-suku di Indonesia.

 

Di kawasan tertentu di Indonesia, ada praktik sunat perempuan dengan menaruh jagung atau gabah di kemaluan anak gadis, kemudian seekor ayam jantan diarahkan untuk mematuknya (Jawa: nothol). Ini jelas budaya etnis, bukan ajaran Islam.

 

Lebih jauh, agama beserta Ulama terkesan melegitimasi praktik sunat perempuan ini. Apa pendapat Anda?

Sunat perempuan telah menjadi adat, sehingga ulama membiarkannya. Dalam pengamalan agama ada adagium al-‘adatu muhakkamatun (adat itu dijadikan hukum) dan custom is king (adat itu raja). Ulama pada umumnya berbuat dan berpikir sejalan dengan kehidupan masyarakatnya.

 

Kaitannya dengan sunat perempuan, mereka ikut melestarikan karena memandangnya sebagai agama yang diperkuat dengan stereotipe perempuan sebagai penggoda atau fitnah. Mereka memandang sunat perempuan berguna mengendalikan potensi penggoda dari perempuan.

 

Sesungguhnya untuk apa ”what is the point” atau apa manfaat sunat perempuan ini?

Manfaat sunat perempuan tak lebih dari sekedar ritual adat yang bermanfaat untuk integrasi sosial. Lalu bagi yang meyakininya sebagai ajaran agama, sunat perempuan dapat memberi manfaat spiritual untuk menenteramkan hati karena telah melaksanakan perintah Tuhan.

 

Atau dari sisi kemaslahatan, seperti apakah kemasalahatan sunat perempuan?

Tak ada kemaslahatan dari sunat perempuan, selain integrasi sosial dan kepuasan spiritual itu.

 

Bagaimana dari sisi madharatnya?

Madharatnya membayakan kesehatan perempuan secara umum dan secara reproduktif, dan melestarikan pencitraan negatif terhadap perempuan yang sangat merugikan baginya.

 

Bagaimana sunat perempuan ini dari aspek gender, seksualitas, kesehatan reproduksi?

Dalam praktiknya selama ini sunat perempuan telah mengakibatkan ketidakadilan gender terhadap perempuan berupa stereotipe dan kekerasan yang pada gilirannya pasti menimbulkan marginalisasi. Selain itu sunat perempuan melestarikan mitos untuk mengendalikan seksualitas perempuan. Karena mitos, ya tidak terbukti.

 

Dorongan seksual perempuan tidak ditentukan dari disunat atau tidaknya mereka, tapi karena faktor-faktor psikologis dan hormonal. Selain itu sunat perempuan juga dapat menghambat akses kesehatan reproduksi perempuan mulai dari yang bersifat sosial berupa ketiadaan akses informasi sampai pada yang berhubungan dengan fisik dan psikologis.

 

Apakah menurut Anda, sunat perempuan melanggar hak-hak dasar perempuan?

Kesehatan reproduksi termasuk kesehatan yang menjadi bagian dari hak-hak dasar manusia. Sunat perempuan yang dilakukan secara ekstrim dan tidak hyginis, tentu melanggar hak-hak itu. Adapun yang dilakukan secara simbolik dengan mengusapkan kunyit pada klitoris misalnya, tidak melanggar hak itu sepanjang tidak disertasi asumsi stereotiping perempuan.

 

Bagaimana sebaiknya umat menyikapi ”tradisi” sunat perempuan ini?

Umat harus cerdas menyikapi tradisi yang telah lama berkembang. Ilmu yang berkembang saat ini dapat membantu untuk memiliki sikap itu. Dalam beragama, umat tidak bisa meninggalkan ilmu. Sunat perempuan oleh umat jangan hanya dilihat secara teologis, tapi juga secara ilmiah dengan memperhatikan kenyataan bagaimana obyektifnya sunat perempuan sekarang ini. Apabila jelas menimbulkan madharat dan ketidakadilan, ya harus ditinggalkan.

 

Lalu menurut Anda, bagaimana sebaiknya pemerintah sebagai umara bersikap?

Pemerintah harus melindungi hak-hak warga negaranya. Sunat perempuan yang menjadi praktik kekerasan terhadapnya harus dihentikan. Di Indonesia untuk menghentikan praktik itu tidak cukup hanya dengan pendekatan politik dan hukum, tapi juga pendekatan budaya. Pemerintah perlu didorong untuk melakukan itu semua dengan terlebih dulu ditimbulkan kesadaran bahwa itu penting dan jangan hanya dipandang sebagai sesuatu yang remeh.

 

Apa harapan Anda pribadi terkait permasalahan ini?    

Sesuai dengan Islam humanitarian yang saya anut, paham dan praktik keagamaan yang tidak menghargai kemanusiaan harus dihindari oleh penganut agama apapun. Sunat perempuan yang merendahkan martabatnya harus dibuang jauh-jauh. [ ] Hafidzoh Almawaliy

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here