Swara Rahima berhasil berkorespondensi dengan Sofiyan Hadi. Iyan, begitu ia biasa disapa, adalah manajer program Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR yang berbasis di Lampung. Lembaga DAMAR dalam beberapa tahun terakhir ini aktif dalam pendampingan desa di area Lampung untuk beberapa isu strategis.  Pada kesempatan ini, Swara Rahima berbincang mengenai UU Desa dan bagaimana perempuan terlibat di dalamnya.

 

Dalam pengamatan Bapak, apakah UU Desa implementatif? Sejauh mana? Apa indikator yang bisa dilihat?

Pembangunan itu akan dilakukan dari pinggiran, dari bawah ke atas. Pada konteks ini, posisi desa sangat strategis. Dalam UU Desa, desa sebagai unit penting, dan di dalam UU ditegaskan tentang prinsip ke­setaraan dan keadilan, sehingga pembangunan desa mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat. Secara sistematis, konsisten, dan berkelanjutan UU Desa memberikan kewenangan yang begitu besar untuk mengurus urusan masyarakat (self governing community). Kebangkitan desa diharapkan menjadi sebuah fenomena yang terus tumbuh dan berkembang menggemakan sema­ngat untuk menyongsong kemandirian desa. Namun, saat ini kemandirian desa dalam mengungkit potensi desa terhalang kerja-kerja administratif  prosedural dan teknis yang bersifat top down. Regulasi teknis turunan UU Desa sering  tidak singkron, bahkan tidak jarang bertabrakan serta “mendegradasi” mandat UU Desa.

UU Desa dari sisi konsep cukup bagus, tetapi belum implementatif. Sebab regulasi turunan dari undang-undang ini belum detail. Peraturan Pemerintah yang dibuat belum mencerminkan semangat UU Desa ini. Misalnya, partisipasi masyarakat sebagai ruh dari undang-undang ini. Partisipasi semestinya melibatkan masyarakat lebih luas dan tidak dibatasi oleh konteks ruang dan waktu. Tetapi dalam konteks pembangunan, partisipasi masyarakat hanya diwujudkan melalui keterwakilan beberapa orang yang dianggap “tokoh” untuk terlibat dalam Musrenbang di tingkat RW, desa, kecamatan dan bahkan kabupaten.

Selain itu, terkait otonomi desa dalam melaksanakan kebijakan pembangunan dan program, harus berpedoman pada Surat Keputusan Bupati. Sehingga kerangka  kegiatan sesungguhnya berada pada kabupaten. Sampai saat ini, pembagian persentase dalam implementasi UU Desa adalah 80% infrastruktur, 10% pemberdayaan masyarakat, dan 10% penyertaan modal BUMDes. Dari pembagian persentase ini saja, sudah sangat terlihat bahwa pembangunan hanya dilihat sebatas pada hal fisik atau yang terlihat jelas.

 

Potensi apa yang bisa dikembangkan oleh desa dengan adanya UU Desa?

Pengembangan ekonomi desa. Sumberdaya alam di desa harus dioptimalkan menjadi potensi tumbuhnya usaha-usaha produktif. Selama ini desa hanya menjadi pemasok bahan baku untuk proses produksi, baik skala industri ataupun rumah tangga di perkotaan. Maka harga-harga hasil sumber daya alam dari desa sangat murah, misalnya hasil pertanian, hasil tanaman lahan pekarangan, dan kebun. Dengan UU Desa, maka desa harus mampu membuat inovasi dengan memasukkan sedikit teknologi agar hasil produksi desa menjadi lebih ekonomis.

Pengembangan sumber daya manusia. Tenaga kerja di desa merupakan “tenaga kasar tak terdidik” yang sangat berlimpah. Tidak heran bila kemudian over load dan memilih menjadi tenaga kerja informal (baca:buruh) di kota. Berbagai alasan dikemukan antara lain karena di desa tidak ada pekerjaan. Dalam konteks ini UU Desa harus bisa menjamin memberikan pengembangan kapasitas sumber daya manusia pedesaan melalui pelatihan-pelatihan vokasional yang pada saatnya akan berguna untuk mengolah potensi sumberdaya alam sebagaimana yang telah disampaikan tadi.

 

Dalam pandangan Bapak, sejauh mana peran perempuan dalam pembangunan  desa? Dan apa kendalanya?

Pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan yang berdampak terhadap kehidupan diri dan kelompoknya, maka pembangunan desa akan lebih efektif mengatasi persoa­lan kemiskinan, ketimpangan, dan keterbelakangan. Sebab persoalan kemiskinan, ketimpangan, dan keterbelakangan le­bih banyak dihadapi dan diderita oleh perempuan.

Dalam UU Desa menegaskan prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam pe­ngaturan desa dan dalam pelaksanaan pemerintahan desa. Ini berarti undang-undang desa memberikan perhatian khusus dan menekankan pentingnya tindakan afirmatif bagi perempuan. Melakukan tindakan afirmatif bagi perempuan dapat memberikan efek ganda, yaitu peningkatan kualitas/ka­pasitas perempuan dan sekaligus peningkatan kualitas pembangunan desa.

 

Apakah perempuan juga aktif menyuarakan kebutuhan yang khas untuk perempuan dalam Musrenbang?

Kelompok perempuan aktif untuk mengawal penggunaan dana desa dengan menyampaikan usulan berbagai program atau kegiatan yang adil untuk semua (laki-laki dan perempuan). Meski hasilnya belum tentu dieksekusi sebagai program yang bisa masuk dalam program pembangunan di tahun tersebut. Mekanisme Musrenbang belum menjamin sepenuhnya usulan program dari bawah, harus diselaraskan dengan program dinas. Ini logika terbalik, mestinya dinas menyesuaikan dengan usulan Musrenbang, tetapi tidak. De­ngan alasan ada skala prioritas dan program dari bawah yang belum terakomodir nanti dapat dilaksanakan tahun berikutnya.

 

Apakah dana desa sudah mengakomodir atau sensitif pada  kebutuhan perempuan dan anak? Kalau sudah, dalam bentuk apa direalisasikannya?

Tidak semua desa dapat atau bahkan belum mengakomodir kebutuhan perempuan dan anak, selain karena aturan turunan yang memang tidak menjelaskan secara gamblang, juga terkait perspektif gender yang ada pada aparatur pemerintahan desa. Namun, ada desa yang sudah mengakomodir kebutuhan perempuan dan anak dengan mengalokasikan dana untuk pemberdayaan perempuan secara khusus, salah satunya adalah alokasi dana untuk satuan tugas penanganan masalah perempuan dan anak di desa.

 

Adakah mekanisme yang dibuat untuk memastikan dana desa tepat guna dan sasaran?

            Satu-satunya mekanisme yang mengatur penggunaan dana desa adalah juklak dan juknis berupa Surat Keputusan Bupati. Di situ secara detail dijelaskan, alokasi penggunaan dana desa. Bahkan termasuk hal-hal yang boleh dibangun dan tak boleh dibangun. Dengan demikian peran aparat pemerintah kabupaten sangat dominan.

 

Apa bentuk partisipasi warga atau desa dalam pengelolaan dana desa dan sebagai kontrol?

Bentuk partisipasi warga dalam pengelolaan dana desa hanya sebatas pengelolaan dana yang nilainya di bawah 50 juta. Dan harus dikelola oleh Pokmas (kelompok masyarakat) dalam hal pembangunan fisik. Belum ada mekanisme yang pas, apalagi tertulis untuk warga melakukan kontrol terhadap pengelolaan dana desa. Misalnya, harus dibentuk tim audit yang terdiri dari tokoh-tokoh warga yang teruji kapabilitasnya, selain kontrol dari aparat formal mulai inspektorat kabupaten sampai BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

 

Pengalaman unik apa yang pernah ditemui saat pendampingan? Apa pelajaran yang bisa diambil?

Wahyu Dwi Kartika adalah seorang perempuan bia­sa di Pekon/Desa Batu tegi, Kecamatan Air Naningan, Kabupaten Tanggamus yang tidak memiliki kemampuan apapun, bahkan untuk berbicara saja menjadi sesuatu yang menakutkan. Kehidupan yang keras dengan budaya patriarki yang sangat kental dalam keluarga, bahkan suami sangat menentang untuk mengikuti kegiatan apapun. Namun perjuangan untuk bisa menjadi perempuan hebat, akhirnya tergapai juga. Saat ini Wahyu mendapat support yang sangat tinggi dari suami dan Wahyu sekarang menjadi sekretaris desa yang menjadi pusat belajar bagi aparatur desa yang lainnya.

Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa kemampuan seseorang sebenarnya bisa terus menerus dipertajam dengan berbagai cara, sehingga bila dilakukan dengan baik, maka perubahan itu akan terjadi.

[Nurhayati Aida]

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here