Foto: newindianexpress.com
Oleh: Fitria Sari*
Situasi Covid-19 bukan tantangan yang mudah, khususnya bagi perempuan di seluruh dunia, misalnya di India. Sebagai negara dengan jumlah penduduk perempuan sebanyak 600 juta, tanpa empati dan kebijakan yang tepat, perempuan semakin berada di jurang kehidupan. Ada berbagai program yang dikembangkan untuk pemberdayaan perempuan di India, salah satunya The Deendayal Antyodaya Yojana atau National Livelihood Mission (NLM).
NLM merupakan program di bawah naungan Kementerian Pengembangan Wilayah Desa (Ministry of Rural Development-MoRD) yang dibentuk sejak Juni 2011. Program tersebut diimplementasikan oleh pemerintah negara bagian, yang bekerja sama dengan Women and Child Development Department. Dalam misi tersebut, salah satu bagian bersinar di tengah suramnya pandemi Covid-19 yaitu keberadaan Women’s Self-Help Groups (SHGs). SHGs dibentuk untuk mengurangi kemiskinan dengan memobilisasi perempuan mis–kin dalam sebuah kelompok, sehingga mereka mampu menjadi sosok berdaya dan mampu menolong dirinya sendiri.
Pada masa Covid-19, SHGs memiliki berbagai aktivitas hingga level nasional. Misalnya, mereka memproduksi masker dan PPE Kits (Personal Protective Equipment – alat pelindung diri). Lebih dari 19 juta masker dan 100.000-liter hand sanitizer telah diproduksi dari 20.000 kelompok SHGs di 27 negara bagian di India. Informasi lain menyebutkan, SHGs memproduksi dan mendistribusikan sebanyak 2 juta peralatan perlindungan diri, termasuk memproduksi sebanyak 150 juta masker berbahan katun dengan 3 lapis, serta 3 juta liter hand sanitizer (womensgroupevidence.org, 2020). Menariknya, produksi tersebut dilakukan secara terbagi ke pemerintah di setiap negara bagian. Sehingga pendistribusian kepada masyarakat luas dapat dilakukan tanpa proses transportasi yang sulit. Salah satu anggota SHGs bernama Sahithi, mengungkapkan bahwa produksi masker dan sanitizer telah memberikan harapan baru untuk mengatasi pandemi ini. Ia bahkan memiliki rencana untuk terjun ke bisnis pembuatan pembersih tangan menggunakan lidah buaya dan sedang mendiskusikannya dengan petani lokal. Testimoni tersebut memperlihatkan SHGs telah berkontribusi besar dalam mendorong pemberdayaan perempuan berbasis gerakan kolektif di tengah situasi sulit pandemi Covid-19 (newindianexpress.com, 2020).
Selain kegiatan di atas, kelompok SHGs juga menginisiasi kerja terkait penyediaan makanan siap saji dan membangun 10.000 dapur umum bagi warga yang melakukan karantina, keluarga miskin dan rentan, serta para pekerja. Hal tersebut dilakukan dengan dukungan dari pemerintah, melalui program Vulnerability Reduction Fund (VRF) yang tersebar di Bihar, Jharkhand, Kerala, Madhya Pradesh, Odisha, dan Triputa. Di wilayah Jharkhand (salah satu wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi), SHGs menjadi kelompok yang sangat dekat dengan masyarakat dan membantu tugas administrasi wilayah untuk mengidentifikasi kantong-kantong kelaparan (The World Bank, 2020). Di negara bagian India, seperti Chhattisgarh dan Odisha menjadi contoh bahwa kepedulian perempuan terhadap pemenuhan gizi bagi balita, ibu hamil dan menyusui, serta kelompok tua rentan terlihat jelas. Mereka melakukan distribusi sumber protein berupa telur kepada kelompok tersebut. Di beberapa negara bagian lain, SHGs turut menyediakan bahan pokok secara grosir dan mengantarkannya ke rumah secara langsung di bawah koordinasi program National Rural Livelihood Mission (NRLM) (GOI, 2020).
SHGs juga memanfaatkan teknologi untuk mengedukasi masyarakat dengan sangat intensif dan masif selama Covid-19. Misalnya saja kelompok SHGs di Kerala yang dikenal dengan ‘Kudumbashree’, mereka membantu menyeleksi berita palsu tentang Covid-19 melalui jeja–ring Whatsapp Group dengan lebih dari 100.000 perempuan sebagai anggotanya. Tentu saja, kanal tersebut juga menyebarkan berita penting lain terkait perkembangan situasi Covid-19, serta mengurangi kebingungan dan kepanikan warga. Ada pula di Uttar Pradesh yang dikenal dengan ‘Prerna’ yang aktif bergerak menyebarkan informasi pencegahan dan penyadaran tentang pandemi Covid-19. Mereka juga menyebarkan pesan berantai kepada warga untuk selalu menjaga jarak dengan membuat karya seni lukis di dinding atau street art. Di Bihar (salah satu negara bagian paling miskin), menggunakan kanal Jeevika untuk menyebarkan informasi tentang tata cara cuci tangan dan karantina mandiri. Adapun pesan tersebut juga disebar melalui leaflet, lagu, video, maupun pesan telepon selular.
Sementara itu, beberapa kelompok SHGs di Jharkhand membuka hotline yang disebut dengan ‘Didi’, selama 24 x 7 jam penuh. Melalui hotline tersebut, mereka menyediakan informasi akurat kepada pekerja migran yang sedang bekerja di negara bagian lain, mengenai proses evakuasi maupun pemulangan mereka ke tanah kelahiran dan keluarganya di Jharkhand (Observer Research Foundation, 2020). Aktivitas lain yang tak kalah penting dilakukan SHGs, yaitu turut menangani masalah psikososial migran, kesehatan mental, serta bantuan administrasi keuangan kelompok rentan. Mereka menyediakan bantuan pelayanan administrasi bank dan jasa pensiun. Mengingat lockdown berlangsung sejak Maret 2020, maka kegiatan koresponden bank terhenti. Oleh sebab itu, SHGs membantu menyediakan jasa bank yang dapat diakses dari rumah ke rumah (worldbank.org, 2020).
Berdasarkan wawancara dengan Rahul Kumar Rajak, selaku Chief Minister’s Research Associate, Government of Madhya Pradesh, India, setidaknya terdapat empat alasan utama kelompok perempuan SHGs memegang peranan penting dalam misi memberikan pelayanan kepada kelompok rentan miskin. Pertama, mereka memiliki pemahaman yang lebih baik tentang komunitas lokal, dan pada saat kritis mereka dengan cepat dapat mengakses hingga level akar rumput. Kedua, mereka memberikan pelayanan sebagai bagian integral dalam menjembatani komunikasi antara komunitas dan pemerintah, bahkan mereka mampu mencapai target akhir dalam sebuah program dengan sangat dipercaya oleh penduduk lokal. Ketiga, mereka dapat menyediakan perlindungan sosial dan ekonomi jangka pendek dan menengah, serta berfungsi sebagai jaringan utama dalam memberi bantuan kepada kelompok rentan. Keempat, mereka memiliki kemampuan yang sangat cepat dalam memproduksi dan mendistribusikan barang-barang sesuai kebutuhan dengan keterampilan yang sangat baik.
Gerakan kelompok perempuan SHGs yang mendorong agensi diri sekaligus gerakan kolektif di masa pandemi Covid-19 sangat penting untuk diapresiasi. Tentu saja kelompok ini masih memerlukan penguatan dalam kerja-kerjanya di akar rumput, seperti penguatan kapasitas pasca pandemi Covid-19. Model kerja SHGs di basis patut dijadikan contoh, guna memperkuat pemberdayaan perempuan ke wilayah lainnya yang belum tersentuh.
*Penulis adalah pegiat kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, alumni Program Studi Kajian Gender SKSG Universitas Indonesia